digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Rumah peranakan (berarsitektur Tionghoa) menjadi bagian dari kekayaan arsitektur Nusantara, termasuk rumah peranakan yang berada di Lasem, kota kecil di Jawa Tengah, Indonesia. Lasem dikenal sebagai kota pusaka, kota multietnis (Jawa, Tionghoa, dan Arab), Kota ‘Tiongkok Kecil’, dan penghasil batik tulis yang mana merupakan warisan budaya dunia tangible. Banyak rumah peranakan di Lasem yang tidak terawat bahkan dijual oleh pemiliknya. Salah satu dari beberapa yang masih bertahan adalah rumah batik peranakan. Rumah batik peranakan yang mana merupakan rumah tinggal sekaligus rumah untuk produksi batik tulis, memiliki 3 identitas: rumah huni, rumah produktif, dan rumah peranakan. Berdasarkan kenyataan tersebut, adaptasi spasial sangat mungkin terjadi di dalamnya, baik dari segi aktivitas maupun kondisi fisik bangunan. Mengingat dwelling culture masyarakat Tionghoa di Lasem yang mewariskan rumah utama kepada keturunannya, generasi penerus (rumah dan usaha) menjadi subjek yang krusial. Generasi penerus yang sejak kecil tinggal di rumah batik peranakan menyimpan berbagai memori, cerita, perasaan, hingga cita-cita, khususnya yang berhubungan dengan rumah dan usaha batik yang kini dipegangnya. Kondisi batin generasi penerus inilah yang dimaksud dengan interioritas dalam penelitian ini. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha mencari bagaimana relasi bidirectional (timbal balik) terjadi antara adaptasi spasial dan interioritas generasi penerus di rumah batik peranakan dalam konteks pelestarian warisan budaya: Rumah berarsitektur Tionghoa (sebagai warisan) dan batik tulis (sebagai usaha). Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang mengkonduksi data ruang-ruang penting berdasarkan keseharian subjek dan elemen place: activity, physical attributes, dan conceptions (terangkum dalam wacana interioritas) dengan pendekatan narrative inquiry. Pengumpulan data dilengkapi dengan wawancara mendalam, observasi, dan dokumentasi foto. Dua rumah batik di dua desa berbeda di Kecamatan Lasem beserta masing-masing pemiliknya menjadi objek dan subjek penelitian, yaitu rumah batik Kidang Mas (pemilik sebagai generasi ke-7) dan rumah batik Lumintu (pemilik sebagai generasi ke-6). Hasil menunjukkan bahwa kedua rumah batik ini mengalami berbagai adaptasi spasial berupa aktivitas yang cenderung mengikuti kebutuhan usaha batik dan kondisi fisik ruang yang dominan ada pada area teras depan, ruang altar, dan ruang produksi dengan aspek utama yaitu ground, platform, dan roof/canopy. Kedua subjek memiliki kesamaan interioritas terkait bagaimana pesan leluhur untuk menjaga warisan yang tetap diingat, mereka menghargai apapun yang ada kini dengan akumulasi kenangannya, dan secara pribadi memang suka dengan gaya arsitektur rumahnya, sehingga perubahan-perubahan hanya dilakukan pada aspek yang krusial saja. Keduanya juga memiliki cita-cita terkait usaha batiknya, seperti dilanjutkan oleh generasi berikutnya (Kidang Mas) maupun terwujudnya museum batik suatu hari (Lumintu). Penelitian ini menyimpulkan bahwa relasi bidirectional antara interioritas dan adaptasi spasial ditunjukkan dengan adaptasi spasial yang bersumber dari interioritas subjek dan interioritas lanjutan yang muncul seiring terjadinya adaptasi spasial. Interirotas menjadi wacana penting dalam menjembatani proses adaptasi spasial dalam hal pelestarian warisan budaya. Interioritas yang bersifat non fisikal pada akhirnya tercermin melalui elemen-elemen fisik yang terlihat.