COVER Gilbert Lodwik Banni
Terbatas  Yuliani Astuti
» Gedung UPT Perpustakaan
Terbatas  Yuliani Astuti
» Gedung UPT Perpustakaan
BAB 1 Gilbert Lodwik Banni
Terbatas  Yuliani Astuti
» Gedung UPT Perpustakaan
Terbatas  Yuliani Astuti
» Gedung UPT Perpustakaan
BAB 2 Gilbert Lodwik Banni
Terbatas  Yuliani Astuti
» Gedung UPT Perpustakaan
Terbatas  Yuliani Astuti
» Gedung UPT Perpustakaan
BAB 3 Gilbert Lodwik Banni
Terbatas  Yuliani Astuti
» Gedung UPT Perpustakaan
Terbatas  Yuliani Astuti
» Gedung UPT Perpustakaan
BAB 4 Gilbert Lodwik Banni
Terbatas  Yuliani Astuti
» Gedung UPT Perpustakaan
Terbatas  Yuliani Astuti
» Gedung UPT Perpustakaan
BAB 5 Gilbert Lodwik Banni
Terbatas  Yuliani Astuti
» Gedung UPT Perpustakaan
Terbatas  Yuliani Astuti
» Gedung UPT Perpustakaan
BAB 6 Gilbert Lodwik Banni
Terbatas  Yuliani Astuti
» Gedung UPT Perpustakaan
Terbatas  Yuliani Astuti
» Gedung UPT Perpustakaan
PUSTAKA Gilbert Lodwik Banni
Terbatas  Yuliani Astuti
» Gedung UPT Perpustakaan
Terbatas  Yuliani Astuti
» Gedung UPT Perpustakaan
LAMPIRAN Gilbert Lodwik Banni
Terbatas  Yuliani Astuti
» Gedung UPT Perpustakaan
Terbatas  Yuliani Astuti
» Gedung UPT Perpustakaan
Hingga kini, penyelenggaraan kelautan Indonesia mengacu pada peraturan seperti UUD 1945
Pasal 33 Ayat 3, UU No. 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 27
Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-pulau Kecil, dan UU No. 32
Tahun 2014 Tentang Kelautan. Namun, belum ada peraturan yang secara menyeluruh mengatur
Kadaster Kelautan, sehingga perencanaan, pengelolaan, dan pengambilan keputusan terkait
dengan sumber daya di laut dan wilayah pesisir masih belum optimal, seperti di Sumatera
Barat. Permasalahan utama dalam Kadaster Kelautan adalah ketiadaan spesifikasi teknis baku
untuk pembuatan Peta Kadaster Kelautan, terutama di wilayah pesisir yang memiliki masalah
seperti alih fungsi lahan hutan bakau. Diperlukan pengolahan data geospasial dan analisis
melalui Peta Kadaster Kelautan untuk mendukung pengambilan keputusan dan pemenuhan
kebutuhan pembangunan berkelanjutan, khususnya terkait dengan sumber daya di laut dan
wilayah pesisir masih belum optimal, seperti di Sumatera Barat. Permasalahan utama dalam
Kadaster Kelautan adalah ketiadaan spesifikasi teknis baku untuk pembuatan Peta Kadaster
Kelautan, terutama di wilayah pesisir yang memiliki masalah seperti alih fungsi lahan hutan
bakau. Diperlukan pengolahan data geospasial dan analisis melalui Peta Kadaster Kelautan
untuk mendukung pengambilan keputusan dan pemenuhan kebutuhan pembangunan
berkelanjutan, khususnya terkait penjagaan ekosistem laut. Produk capstone Peta Kadaster
Kelautan di Provinsi Sumatera Barat menghasilkan 25 peta, dan setiap peta terdiri dari 3
bagian yakni; ruang permukaan, ruang kolom air dan bagian ruang dasar laut.