digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800


Cover - Briantara Revidinda Putra
PUBLIC Adhisti Emillanov Sukma

Bab 1 - Briantara Revidinda Putra
PUBLIC Adhisti Emillanov Sukma

Bab 2 - Briantara Revidinda Putra
PUBLIC Adhisti Emillanov Sukma

Bab 3 - Briantara Revidinda Putra
PUBLIC Irwan Sofiyan

Bab 4 - Briantara Revidinda Putra
PUBLIC Irwan Sofiyan


Setengah dari populasi dunia tinggal dalam jarak 60 kilometer dari pantai dengan tren peningkatan mencapai tiga perempat populasi dunia pada tahun 2020 sebagai pengaruh daerah pesisir dan laut terhadap kehidupan manusia. Hal ini tercermin oleh Indonesia sebagai negara maritim dengan luas wilayah laut dua pertiga dari wilayah darat dan 60% populasi tinggal di wilayah pesisir. Populasi ini didukung dengan keberagaman suku yang tersebar dan menempati wilayah darat, pesisir, bahkan laut. Salah satunya adalah Suku Bajau sebagai suku adat laut di Indonesia yang sepanjang hidupnya telah menghuni laut dan memiliki budaya maritim yang unik secara turun-temurun. Suku Bajau tercatat sebagai suku pelayar nomaden dalam sejarah sejak abad ke-13 dan tersebar di Perairan Indonesia, salah satunya Laut Sulawesi. Mereka membangun, tinggal, dan melakukan aktivitas sehari-hari di permukiman terapung di atas laut. Suku Bajau sebagai salah satu etnik Indonesia diakui keberadaannya secara sah oleh pemerintah sehingga mereka memiliki pemenuhan hak dan jaminan hukum yang sama dengan masyarakat yang tinggal di darat. Akan tetapi, kondisi tersebut belum sepenuhnya diberikan kepada Masyarakat Suku Bajau. Timbul berbagai masalah legitimasi khususnya merujuk kepada pengakuan hak milik atas tanah di tempat mereka tinggal. Dalam hal ini, pemerintah hanya memberikan sertifikat berupa Hak Guna Bangunan (HGB) bukan sebagai hak milik. Kondisi ini akan menyebabkan potensi permasalahan status kepemilikan dan pelanggaran terhadap hak warga negara khususnya bagi masyarakat adat. Kebijakan terkait perencanaan dan pengelolaan ruang laut perlu dioptimalkan untuk mewujudkan kesetaraan sehingga tidak ada masyarakat yang termarginalkan. Tata kelola ruang laut diwujudkan melalui implementasi kadaster kelautan yang bertujuan untuk pencatatan (administrasi), meminimalkan terjadinya konflik, dan memberikan jaminan ruang khususnya bagi masyarakat adat. Tata kelola ruang laut dapat dianalogikan dengan pengaturan pengelolaan wilayah darat dalam bentuk persil (zonasi). Suatu persil harus jelas posisinya dalam suatu koordinat geografis, dinyatakan luasannya, memuat informasi hak dan kewajiban, memiliki referensi datum vertikal, serta terdaftar dalam administrasi kadaster. Namun, selama ini tidak ada kebijakan yang menetapkan referensi muka air laut sebagai datum vertikal untuk kadaster kelautan sehingga pencatatan informasi suatu persil belum dapat terpenuhi. Hal ini penting karena berkaitan dengan pendefinisian bangunan di atas laut terhadap suatu referensi bidang tertentu. Dalam hal ini, peran kadaster kelautan harus mampu memberikan definisi dan informasi terhadap persil bangunan di atas laut, khususnya terkait penentuan datum vertikal sebagai referensi ketinggian terhadap suatu muka air laut tertentu. Pada penelitian ini digunakan pendekatan pada aspek hukum dan aspek teknis terhadap Permukiman Suku Bajau di Desa Samabahari, Kecamatan Kaledupa, Kabupaten Wakatobi. Aspek hukum berfokus pada analisis peraturan perundang-undangan yang berlaku dan memiliki relevansi terkait kadaster kelautan untuk melihat potensi pemberian hak milik laut kepada Suku Bajau. Sedangkan, aspek teknis berfokus pada kajian spasial untuk memetakan objek dan menentukan datum vertikal kadaster kelautan sebagai referensi tinggi suatu bangunan di atas laut. Kedua aspek ini menjadi dasar pertimbangan dalam memberikan hak milik atas tanah kepada Suku Bajau. Berdasarkan analisis peraturan perundang-undangan, hak milik laut atas tanah Suku Bajau dapat diberikan terhadap objek bangunan di atas laut yang diikuti dengan kewajiban untuk menjaga dan melestarikan ekosistem laut. Hal ini meninjau kenampakan lokasi dan status masyarakat. Berdasarkan kajian teknis, kedudukan muka air laut rata-rata (MSL) dipilih sebagai datum vertikal kadaster kelautan atas dasar pertimbangan praktis, integrasi data, dan pendekatan model. MSL di area studi memiliki nilai 60,229 meter terhadap elipsoid. Selain itu, dalam penelitian dihasilkan peta objek kadaster kelautan sebagai keterbaruan yang mendukung implementasi rancangan peraturan perundang-undangan kadaster kelautan di Indonesia.