Pada Industri pertambangan bijih besi, Indonesia mengekspor bijih besi dengan
kadar rendah. Namun, di sisi lain pada industri besi baja, Indonesia mengimpor
konsentrat bijih besi/ pellet dengan harga yang lebih tinggi dari harga bijih besi
ekspor. Hal ini menyebabkan neraca perdagangan bijih besi mengalami defisit.
Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009, dimana
dalam pasal 102 menyatakan pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai
tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan,
pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubaraā€¯
Penelitian ini mengkaji kebutuhan bijih besi Indonesia serta pengaruh peningkatan
nilai tambah bijih besi untuk diolah menjadi besi kasar. Kebutuhan bijih besi
diperoleh dengan menghitung total kandungan Fe dalam semua produk besi baja
yang memiliki permintaan terbanyak di Indonesia dan kemudian dihitung total
kebutuhan besi kasar yang diperlukan. Setelah diperoleh total kebutuhan besi
kasar, selanjutnya dikonversi kedalam jumlah kebutuhan bijih besi. Pada kajian ini
dilakukan pemodelan kebutuhan bijih besi menggunakan metode ekonometrik,
selanjutnya menghitung peningkatan nilai tambah bijih besi menjadi besi kasar
pada industri besi baja sampai dengan tahun 2019.
Dari hasil peramalan dan perhitungan diperoleh bahwa pada tahun 2019,
kebutuhan bijih besi mencapai 62.3 juta ton. Selanjutnya, total peningkatan nilai
tambah bijih besi menjadi besi kasar selama masa proyeksi (tahun 2014-2019)
sebesar US$ 35.28 milliar.