Gempa Mentawai 2010 terjadi di area dangkal gempa Mentawai 2007. Karena
sumber gempa terjadi di area dangkal dan durasi rekahannya yang lama, gempa ini
diklasifikasikan sebagai tsunami earthquake. Beberapa mekanisme diusulkan untuk
menjelaskan ketinggian tsunami yang lebih tinggi dari perkiraan, termasuk efek
sedimen, slip tinggi pada kedalaman dangkal, dan aktivasi patahan dekat palung.
Gempa 2010 terjadi di segmen Mentawai, yang merupakan bagian dari prisma
akresi di zona subduksi Sumatra. Prisma akresi aktif ini telah diidentifikasi sebagai
struktur paling rumit di Bumi, dan terletak di sepanjang zona subduksi Sumatra,
tempat terjadinya gempa bumi yang paling merusak. Untuk memodelkan deformasi
Bumi, asumsi model setengah ruang elastis homogen banyak digunakan. Namun,
asumsi lapisan homogen tidak dapat secara akurat mencerminkan kompleksitas
kerak bumi di kedalaman dangkal. Kami menggunakan metode elemen hingga
untuk membuat model deformasi koseismik 2D dan 3D berdasarkan gempa
Mentawai 2010. Kami meninjau pengaruh variasi struktur geometri dan
heterogenitas sifat fisis prisma akresi menggunakan metode elemen hingga. Dalam
pemodelan deformasi kerak dua dimensi, pengaruh struktur prisma akresi dan
material dianalisis. Pemodelan deformasi kerak mencakup dua jenis periode gempa
yaitu interseismik dan koseismik. Prisma akresi dipertimbangkan sebagai lapisan
dengan sifat elastis yang berbeda dari lempeng kontinental. Sesar di dekat palung
juga digunakan untuk memperhitungkan variasi struktur geometri. Selain itu,
variasi ketebalan slab oseanik elastik disimulasikan dalam pemodelan ini. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa variasi model geometri, material, dan lokasi
patahan memiliki pengaruh terhadap amplitudo dan pola deformasi. Untuk
penelitian lebih lanjut, pemodelan 3D diperlukan. Simulasi perkiraan deformasi
permukaan 3D dilakukan untuk menguji dampak struktur geometri dan sifat fisis
prisma akresi selama periode koseismik. Struktur geometri dan variasi sifat fisis
yang diamati adalah faktor topografi, variasi dimensi prisma akresi, dan
pertimbangan prisma akresi tunggal. Topografi memiliki pengaruh 10% terhadap
besarnya deformasi horizontal tetapi hanya berpengaruh pada pola deformasi untuk
arah vertikal. Dibandingkan dengan topografi, dimensi prisma akresi tampaknya
memiliki pengaruh yang kecil terhadap deformasi permukaan. Variasi sifat fisis
prisma akresi tunggal memengaruhi besar deformasi hingga 40%. Selain itu, variasi
ini menghasilkan perbedaan deformasi vertikal sekitar 0.5 meter. Melalui
pertimbangan prisma akresi sebagai material tunggal, diketahui bahwa jika perbedaan rigiditas kurang dari 10 GPa maka asumsi lapisan homogen dapat
digunakan. Di sisi lain, jika perbedaan rigiditas suatu material lebih dari 10 GPa
maka lapisan heterogen harus dipertimbangkan. Dengan menggunakan dua model
solusi slip yang berbeda, ditemukan bahwa offset koseismik mendekati data GPS
di pulau tetapi tidak di daratan untuk model geometri tanpa prisma akresi. Akan
tetapi, model geometri dengan prisma akresi menghasilkan offset koseismik
mendekati data GPS di daratan tetapi tidak di pulau. Oleh karena itu, model prisma
akresi kompleks digunakan untuk memperoleh pergeseran permukaan yang
mendekati data observasi GPS di area pulau dan daratan. Hasil pemodelan
menunjukkan diperlukan nilai rigiditas yang rendah (<12 GPa) pada kedalaman 10
km di bawah pulau untuk mendekati data GPS di pulau dan daratan. Model prisma
akresi kompleks ini juga menghasilkan kenaikan deformasi arah vertikal yang lebih
tinggi dan perubahan tegangan Coulomb lebih dari 1 MPa jika dibandingkan
dengan model tanpa prisma akresi. Hasil perhitungan Kriteria Informasi Akaike
menunjukkan model heterogenitas kompleks prisma akresi memiliki dampak yang
signifikan. Kami menyimpulkan bahwa kompleksitas prisma akresi di segmen
Mentawai memengaruhi peristiwa tsunami earthquake tahun 2010. Hal ini
menunjukkan pentingnya informasi properti fisis regional dan fitur struktur
geometri yang lebih detail dalam memperkirakan deformasi koseismik. Perkiraan
deformasi permukaan tersebut dapat menghasilkan nilai fungsi Green yang lebih
akurat untuk memperoleh solusi sumber slip gempa. Dengan memetakan area zona
subduksi Indonesia yang memiliki struktur geometri kompleks dan lapisan
heterogen, perencanaan mitigasi bencana gempa bumi dan tsunami dapat dilakukan
dengan lebih baik.