digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Gempa Mentawai 2010 terjadi di area dangkal gempa Mentawai 2007. Karena sumber gempa terjadi di area dangkal dan durasi rekahannya yang lama, gempa ini diklasifikasikan sebagai tsunami earthquake. Beberapa mekanisme diusulkan untuk menjelaskan ketinggian tsunami yang lebih tinggi dari perkiraan, termasuk efek sedimen, slip tinggi pada kedalaman dangkal, dan aktivasi patahan dekat palung. Gempa 2010 terjadi di segmen Mentawai, yang merupakan bagian dari prisma akresi di zona subduksi Sumatra. Prisma akresi aktif ini telah diidentifikasi sebagai struktur paling rumit di Bumi, dan terletak di sepanjang zona subduksi Sumatra, tempat terjadinya gempa bumi yang paling merusak. Untuk memodelkan deformasi Bumi, asumsi model setengah ruang elastis homogen banyak digunakan. Namun, asumsi lapisan homogen tidak dapat secara akurat mencerminkan kompleksitas kerak bumi di kedalaman dangkal. Kami menggunakan metode elemen hingga untuk membuat model deformasi koseismik 2D dan 3D berdasarkan gempa Mentawai 2010. Kami meninjau pengaruh variasi struktur geometri dan heterogenitas sifat fisis prisma akresi menggunakan metode elemen hingga. Dalam pemodelan deformasi kerak dua dimensi, pengaruh struktur prisma akresi dan material dianalisis. Pemodelan deformasi kerak mencakup dua jenis periode gempa yaitu interseismik dan koseismik. Prisma akresi dipertimbangkan sebagai lapisan dengan sifat elastis yang berbeda dari lempeng kontinental. Sesar di dekat palung juga digunakan untuk memperhitungkan variasi struktur geometri. Selain itu, variasi ketebalan slab oseanik elastik disimulasikan dalam pemodelan ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variasi model geometri, material, dan lokasi patahan memiliki pengaruh terhadap amplitudo dan pola deformasi. Untuk penelitian lebih lanjut, pemodelan 3D diperlukan. Simulasi perkiraan deformasi permukaan 3D dilakukan untuk menguji dampak struktur geometri dan sifat fisis prisma akresi selama periode koseismik. Struktur geometri dan variasi sifat fisis yang diamati adalah faktor topografi, variasi dimensi prisma akresi, dan pertimbangan prisma akresi tunggal. Topografi memiliki pengaruh 10% terhadap besarnya deformasi horizontal tetapi hanya berpengaruh pada pola deformasi untuk arah vertikal. Dibandingkan dengan topografi, dimensi prisma akresi tampaknya memiliki pengaruh yang kecil terhadap deformasi permukaan. Variasi sifat fisis prisma akresi tunggal memengaruhi besar deformasi hingga 40%. Selain itu, variasi ini menghasilkan perbedaan deformasi vertikal sekitar 0.5 meter. Melalui pertimbangan prisma akresi sebagai material tunggal, diketahui bahwa jika perbedaan rigiditas kurang dari 10 GPa maka asumsi lapisan homogen dapat digunakan. Di sisi lain, jika perbedaan rigiditas suatu material lebih dari 10 GPa maka lapisan heterogen harus dipertimbangkan. Dengan menggunakan dua model solusi slip yang berbeda, ditemukan bahwa offset koseismik mendekati data GPS di pulau tetapi tidak di daratan untuk model geometri tanpa prisma akresi. Akan tetapi, model geometri dengan prisma akresi menghasilkan offset koseismik mendekati data GPS di daratan tetapi tidak di pulau. Oleh karena itu, model prisma akresi kompleks digunakan untuk memperoleh pergeseran permukaan yang mendekati data observasi GPS di area pulau dan daratan. Hasil pemodelan menunjukkan diperlukan nilai rigiditas yang rendah (<12 GPa) pada kedalaman 10 km di bawah pulau untuk mendekati data GPS di pulau dan daratan. Model prisma akresi kompleks ini juga menghasilkan kenaikan deformasi arah vertikal yang lebih tinggi dan perubahan tegangan Coulomb lebih dari 1 MPa jika dibandingkan dengan model tanpa prisma akresi. Hasil perhitungan Kriteria Informasi Akaike menunjukkan model heterogenitas kompleks prisma akresi memiliki dampak yang signifikan. Kami menyimpulkan bahwa kompleksitas prisma akresi di segmen Mentawai memengaruhi peristiwa tsunami earthquake tahun 2010. Hal ini menunjukkan pentingnya informasi properti fisis regional dan fitur struktur geometri yang lebih detail dalam memperkirakan deformasi koseismik. Perkiraan deformasi permukaan tersebut dapat menghasilkan nilai fungsi Green yang lebih akurat untuk memperoleh solusi sumber slip gempa. Dengan memetakan area zona subduksi Indonesia yang memiliki struktur geometri kompleks dan lapisan heterogen, perencanaan mitigasi bencana gempa bumi dan tsunami dapat dilakukan dengan lebih baik.