digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

2023 TA PP RAHMA DHIANTI CHAIRUNNISSA 1.pdf
Terbatas  Noor Pujiati.,S.Sos
» Gedung UPT Perpustakaan

Tema politik dalam seni rupa merupakan tema yang kaya, terus berkembang, dan bermanifestasi dalam berbagai bentuk sepanjang masa. Ia digunakan sebagai alat, dari komentar sosial ke propaganda nasional, hingga seruan revolusioner yang eksplisit. Namun, pada sisi lain perlu diingat bahwa 'muatan politik' bisa merasuki semua aspek kehidupan, merefleksikan nilai-nilai dan ideologi. Hal ini yang menjelaskan mengapa ‘Fountain’ oleh Marcel Duchamp atau gerakan Pop Art merupakan terobosan sangat besar dalam konteks iklim seni rupa pada masanya. Jadi, memang ada bentuk politik dalam seni yang tidak secara eksplisit bermakna protes. Indonesia sendiri sarat sejarah seni bertema politik. Seni modernnya tak lepas dari sejarah kolonial dan relasi kuasa. Baik dalam hal pemberontakan yang terjadi, kerja sama dengan penguasa baru, maupun setelah merdeka. Seni bermuatan politik menjalankan peran pentingnya dalam aspek pemerintahan dan moral nasional demi menjaga semangat. Dadang Christanto, seniman Australia asal Tegal, Jawa Tengah, terkenal dengan karyanya yang berakar pada rasa sakit humanis dan berdaya tarik universal. Fokus karya-karyanya pada simpati dan narasi pengingat akan para korban berbagai kekerasan. Harapannya memberi suara dan tempat bagi mereka dalam memori kolektif. Karya-karyanya bersumber dari tragedi pribadinya terkait pembantaian Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965-66. Sebuah peristiwa sejarah yang dampaknya terus ia gaungkan selama lebih dari dua dekade. Namun, nilai-nilai kolektivitas dalam karyanya dan visualisasi yang ‘halus’ secara umum, tidak menempatkan ia secara khusus sebagai ‘seniman politik’ di Australia. Gaya ciri khasnya berkisar abstrak dan simbolis dalam warna merah, putih, cokelat, dan hitam, dengan motif utama bentuk kepala sebagai 'pusat memori' dan penggambaran figur tak berbentuk secara androgini. Namun, mendekati dan setelah 50 tahun peringatan pembantaian (PKI), visualisasi karya-karyanya kian eksplisit, dengan depiksi kekerasan yang semakin ditunjukkan dan gaya penggambaran manusia yang semakin realis, menjadi lebih kasar dan mengerikan ketimbang pendekatan metaforis dan estetis yang ia terapkan sebelumnya. Perubahan ini dijelaskan melalui analisis karyanya melalui metode kritik seni Feldman, lanjut dengan pembacaan penentuan keputusan-keputusan visual karya tersebut melalui teori seni fungsi sosial Feldman untuk memutuskan apakah dapat diperhitungkan sebagai karya yang dibuat dengan intensi politis, dan bagaimana politik tersebut muncul dan berubah, dan dampak dari perubahan tersebut kepada karya-karya terbarunya, yang kembali dari perubahan-perubahan sebelumnya menjadi pendekatan yang lebih familiar sebagai gayanya. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa perubahan visualisasi karyanya tampak dalam kurun waktu penelitian ini, yaitu 2005-2021, dalam sebuah kulminasi dengan beberapa faktor, dalam rentang waktu penolakan pengakuan presiden Indonesia mengenai dakwaan pembantaian 65-66 sebagai genosida oleh International People's Tribunal dan 50 tahun tanpa tindaklanjut. Pengeluaran ekspresi politik seniman ini berubah dari sikap pasif mengenai kesadaran adanya korban, mengingat dan menghormati mereka melalui visualisasi humanis, menjadi ajakan lebih tegas kepada audiensnya demi perubahan yang nyata dan kompensasi. 'Cactus Man' yang dirilis pada 2021 bergeser lagi dari pesan ini, tidak secara khusus terpusat pada korban sama sekali, melainkan menggunakan gaya abstrak dan palet warna biru untuk meminta audiens memperhatikan cara-cara pihak arus utama memaksa massa untuk melupakan peristiwa kelam sejarah dan para korban yang terdampak olehnya.