digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

COVER Feby Nur Sakinah
PUBLIC Yati Rochayati

ABSTRAK Feby Nur Sakinah
PUBLIC Yati Rochayati

BAB 1 Feby Nur Sakinah
PUBLIC Yati Rochayati

BAB 2 Feby Nur Sakinah
PUBLIC Yati Rochayati

BAB 3 Feby Nur Sakinah
PUBLIC Yati Rochayati

BAB 4 Feby Nur Sakinah
PUBLIC Yati Rochayati

BAB 5 Feby Nur Sakinah
PUBLIC Yati Rochayati

PUSTAKA Feby Nur Sakinah
PUBLIC Yati Rochayati

Metaverse merupakan lingkungan virtual yang dibuat sangat mirip dengan lingkungan nyata sehingga pengguna dapat berinteraksi secara bebas di dalamnya yang merupakan pengembangan dari konsep virtual reality (VR). Penggunaan VR ini dapat memunculkan gejala seperti mual, pusing, lelah, dan lainnya yang disebut visually induced motion sickness (VIMS). Gejala VIMS dari pemutaran VR dapat ditentukan dengan menggunakan simulator sickness questionnaire (SSQ) serta electroencephalography (EEG). Data SSQ dari subjek dikelompokkan pada tiga sub gejala yaitu nausea (N), oculomotor (O) dan disorientation (D) dan dikalikan dengan faktor bobot masing-masing sub gejala. EEG yang digunakan adalah Neuron Spectrum-63 (19+2 elektroda), serta untuk VR digunakan head-mounted display (HMD) Oculus Quest 2 sehingga pengguna dapat merasakan suasana di sekitarnya. Setiap subjek diberikan dua tingkat/jenis gerakan visual pada VR, yaitu gerak translasi yang lambat (VR1) dan rotasi lebih cepat (VR2). Penelitian bertujuan untuk mendapatkan nilai power spectral density (PSD), pergeseran nilai frekuensi puncak gelombang otak dan perubahan nilai SSQ hasil pengaruh VR1 dan VR2. Data penelitian diolah menggunakan MATLAB dan EEGLab dengan melakukan centering, filtering pada frekuensi pita teta (4 – 8 Hz), pita alfa (8 – 13 Hz), pita beta-1 (13 – 20 Hz) dan pita beta-2 (20 – 30 Hz). elanjutnya data diolah menggunakan Periodogram Welch untuk mendapatkan nilai PSD dalam rentang frekuensi. Penelitian ini dilakukan pada 18 orang subjek laki-laki sehat berusia 19 – 26 tahun tanpa riwayat penyakit gangguan otak. Data diukur ketika subjek istirahat sebagai baseline (mata tertutup dan mata terbuka) dan saat pemutaran VR. Ketika mata tertutup, PSD pita teta dan pita alfa meningkat setelah pemutaran VR1 dan VR2, namun untuk pita teta tidak berubahan signifikan terhadap perbedaan tingkat/jenis VR sedangkan pita alfa memiliki perubahan signifikan pada lobus parietal. Frekuensi puncak teta mengalami peningkatan dan frekuensi puncak alfa mengalami penurunan. Hal ini menyatakan adanya pegaruh somatosensorik saat pemutaran VR. Ketika mata terbuka, PSD pita teta dan pita alfa meningkat setelah pemutaran VR terutama pada daerah frontal dan parietal namun tidak memiliki perubahan signifikan terhadap tingkat/jenis VR. Nilai frekuensi puncak teta mengalami penurunan setelah pemutaran VR1 dan VR2 sedangkan frekuensi puncak alfa mengalami kenaikan setelah VR1 namun mengalami penurunan setelah VR2. Dari penelitian didapatkan adanya peningkatan nilai SSQ terhadap tingkat/jenis VR yang diberikan pada subjek. VR2 memberikan perbedaan yang signifikan terhadap total skor SSQ daripada VR1. Saat pemutaran VR1 dan VR2, PSD teta mengaktivasi lobus frontal sementara PSD alfa mengaktivasi lobus yang bervariasi pada tiap subjek. Peningkatan PSD pita teta dan alfa menyatakan tingkat keparahan dari VR yang diberikan pada pengolahan informasi di lobus frontal serta pengaruh somatosensorik pada lobus parietal. Saat pemutaran VR, PSD teta pada lobus frontal menyatakan pengolahan informasi oleh subjek terhadap VR dan PSD alfa dipengaruhi terhadap stimulus visual yang diberikan menjelaskan tentang respon subjek terhadap gejala motion sickness.