digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800





BAB 3B Acep Iwan Saidi
PUBLIC Alice Diniarti

BAB 4 Acep Iwan Saidi
PUBLIC Alice Diniarti

BAB 5A Acep Iwan Saidi
PUBLIC Alice Diniarti

BAB 5B Acep Iwan Saidi
PUBLIC Alice Diniarti

BAB 5C Acep Iwan Saidi
PUBLIC Alice Diniarti

BAB 5D Acep Iwan Saidi
PUBLIC Alice Diniarti

BAB 6 Acep Iwan Saidi
PUBLIC Alice Diniarti

BAB 7 Acep Iwan Saidi
PUBLIC Alice Diniarti

Disertasi ini bertajuk Narasi Simbolik dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia. Di dalamnya dianalisis tentang struktur dan pola narasi simbolik seni rupa kontemporer Indonesia. Di samping itu, dibahas juga aspek tematik di balik narasi tersebut. Seni rupa kontemporer yang dianalisis dibatasi pada tujuh perupa, yakni Tisna Sanjaya, Heri Dono, Agus Suwage, Arahmaiani, Dede Eri Supria, Ivan Sagita, dan I Gusti Ayu Kadek Murniasih. Pembatasan ini dilakukan berdasarkan beberapa alasan, antara lain eksistensi seniman pada zamannya dan kesesuaian karya sebagai subjek penelitian dengan topik disertasi.Pilihan atas topik narasi simbolik dilakukan dengan pertimbangan pada kemenarikan topik ini diangkat sebagai bahan penelitian. Dalam sejarah dan wacana seni rupa Indonesia, penyebutan dan pengkategorian atas seni rupa yang bersifat naratif sering dilakukan orang. Akan tetapi, sejauh ini belum ada kajian akademik yang mendalam dan terstruktur tentang apa dan bagaimana sebuah karya rupa bisa disebut naratif. Melalui penelitian disertasi ini penulis telah menemukan jawaban atas persoalan tersebut. Dengan menggunakan metode struktural Ferdinand de Saussure dan hermeneutika Paul Ricoeur, dalam disertasi ini dikemukakan penemuan tentang struktur dan pola narasi simbolik pada karya tujuh perupa kontemporer yang bisa digunakan sebagai salah satu model pembacaan terhadap seni rupa kontemporer Indonesia yang sejenis secara keseluruhan. Pada tahap pertama, karya rupa bisa disebut naratif jika di dalamnya terdapat relasi antardua atau lebih elemen rupa yang membangun cerita. Elemen rupa yang dimaksud adalah peristiwa, tokoh, setting (ruang), alur (waktu), sudut pandang, dan pola ucap. Elemen-elemen ini bisa berbanding lurus dengan apa yang dikandung dalam karya sastra sebab istilah narasi itu sendiri awalnya memang berada dalam ranah disiplin ilmu susastra. Namun, pada tahap berikutnya, karya seni rupa harus dibedakan dengan sastra. Karya rupa bercerita dalam tanda tanda visual yang membutuhkan pemahaman lebih jauh daripada teks sastra yang berbahasa verbal. Oleh sebab itu, dalam disertasi ini narasi dalam seni rupa disebut sebagai narasi simbolik, cerita yang terbangun melalui relasi antarelemen simbolik. Narasi simbolik dalam karya rupa juga lebih banyak terbangun secara inplisit (in absentia) atau terpola dalam benak apresiator setelah melihat karya Dalam lingkup lebih luas, melalui analisis terhadap struktur dan pola narasi simbolik juga ditemukan hubungan antara struktur dan pola tersebut dengan struktur dan pola budaya masyarakat sebagai tempat para seniman hidup dan berkarya, yakni kebiasaan bercerita yang sangat menonjol dan telah berlangsung sejak lama sebagai warisan budaya. Dengan tafsir hermeneutika yang juga menggunakan psikoanalisis Jung sebagai teori pendukung yang relevan, ditemukan bahwa narasi simbolik dalam karya rupa itu muncul sebagai ketaksadaran kolektif (collective unconsciouse). Secara visual, ketaksadaran kolektif itu juga muncul dalam teknik mengambar yang antara lain memiliki benang merah dengan cara menggambar masyarakat prasejarah dan tradisi. Kajian atas struktur dan pola narasi simbolik demikian merupakan kajian pada lapis bentuk. Pada lapis tematik ditemukan bahwa narasi narasi yang dibangun berkisar pada soal-soal kekinian, yakni masalah politik, gender, kemiskinan, spiritualitas, tubuh, dan masalah-masalah yang berkaitan dengan tradisi dan nilai lokal dalam perspektif kontemporer. Tema-tema ini dikemukakan dalam pola ucap visual yang naratif dan memiliki benang merah dengan ketaksadaran kolektif sebagaimana telah dikemukakan.