Kejahatan pedofil identik dengan percabulan anak dan pornografi online.
Berdasarkan data yang dihimpun Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri,
jumlah kejahatan pornografi online cenderung meningkat setiap tahunnya, pada
tahun 2019 meningkat sebesar 33% yaitu 364 kasus dimana terdapat 79 anak yang
menjadi korban perilaku menyimpang pedofil melalui media sosial. Menurut
Dittipidsiber dalam laporan National Center of missing exploited children
(NCMEC) sepanjang tahun 2019, menempatkan platform Twitter sebagai media
sosial yang subur akan konten pornografi dengan jumlah akun pelaku pedofil
sebanyak 3.105 akun. Akun twitter dapat dibuat dengan mudah sehingga
memungkinkan para pedofil untuk melakukan perilaku menyimpang. Pedofil dan
korban tidak saling mengenal karena predator anak memiliki cara unik untuk
mengelabui korban, misalnya dengan menggunakan identitas palsu, mengirimkan
pesan ekspresif di tweet, mengaku sebagai guru korban atau mengaku sebagai
dokter yang melakukan meneliti, berpura-pura mengetahui di dunia nyata,
kemudian sang predator merayu (online grooming) korban dan meyakinkan korban
untuk mau menuruti perintah sang predator, baik dengan mengirimkan foto maupun
video yang berisi konten pornografi anak. Tujuan dari penelitian adalah merancang
model yang dapat mengidentifikasi akun pedofil berdasarkan karakteristik pelaku
pada platform twitter. Model ini dirancang agar dapat dengan cepat dan akurat
mengidentifikasi akun pedofil, dilakukan dengan mengekstrak fitur berbasis akun
dan konten. Kemudian model menggunakan fitur tersebut untuk melakukan
pelatihan dengan membandingkan akurasi algoritma pembelajaran mesin. Dari
hasil uji confusion matrix, penelitian ini mengklasifikasikan akun pedofil dan nonpedofil dengan hasil akurasi terbaik menggunakan algoritma Random Forest
97,79% sedangkan algoritma SVM 96,32%, Decision Tree 95,59%, KNN 91,18%,
dan Naïve Bayes 94,85%.