digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Pada batas kedalaman tertentu, tambang terbuka sudah tidak layak untuk dilanjutkan berdasarkan kajian teknis dan evaluasi ekonomi. Metode tambang bawah tanah ambrukan (block caving) menjadi salah satu alternatif untuk melanjutkan penambangan pada badan bijih yang sama. Proses transisi dari tambang terbuka ke tambang bawah tanah metode ambrukan mengakibatkan terjadinya perubahan geometri dan dimensi bukaan tambang. Perubahan tersebut akan berpengaruh terhadap distribusi tegangan, konfigurasi air tanah, dan juga kekakuan (stiffness) dari sistem tambang terbuka dan tambang bawah tanah serta meningkatkan risiko ketidakstabilan lereng tambang terbuka. Longsor dini (early failure) merupakan salah satu risiko geoteknik di lereng tambang terbuka pada proses transisi dan interaksi tersebut. Material longsor dapat menutupi dasar tambang terbuka dan berpotensi menyebabkan pengotoran dini (early dilution) serta berkurangnya cadangan tambang bawah tanah secara signifikan. Pengetahuan dan pemahaman yang lebih baik mengenai karakteristik kestabilan lereng tambang terbuka pada proses transisi dan interaksi tambang terbuka ke tambang bawah tanah metode ambrukan akan membantu pengelolaan kestabilan lereng tambang terbuka. Tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan metodologi analisis untuk menilai kestabilan lereng tambang terbuka yang relatif praktis dan dapat meminimalkan terjadinya longsor dini, sekaligus memaksimalkan: 1) data pencakraman inti (core disking), 2) hasil pemantauan perpindahan (displacement monitoring) yang terkait dengan bentuk lereng dan kedalaman tambang, 3) hasil pemantauan muka air tanah di crown pillar, dan 4) data pengukuran tegangan in-situ sebagai masukan dalam perencanaan tambang. Data pencakraman inti dapat dipergunakan sebagai indikator tegangan horizontal yang tinggi dengan arah tegak lurus terhadap sumbu pengeboran. Hasil pemodelan geoteknik dan data pemantauan prisma menunjukkan bahwa geometri dan dimensi bukaan tambang berpengaruh terhadap kestabilan lereng (kedalaman tambang, ketebalan crown pillar, serta bentuk lereng). Kedalaman tambang melebihi 500 meter dan ketebalan crown pillar kurang dari 80 meter menjadi batas kritis di Tambang Terbuka Grasberg ketika mulai terjadi peningkatan tegangan dan perpindahan yang signifikan. Sementara bentuk lereng cekung (tampak atas) secara umum lebih stabil dibandingkan bentuk lereng lurus atau cembung (memiliki rata-rata perpindahan yang lebih rendah 14-20%). Pada pemantauan muka air tanah di crown pillar dengan mempergunakan piezometer menunjukkan tidak adanya relasi yang kuat antara kenaikan muka air tanah dengan curah hujan serta kenaikan air permukaan di dasar tambang pada saat itu. Hal ini berkaitan dengan rendahnya permeabilitas batuan (RQD rata-rata atau Rock Quality Designation 50-80% dan konduktivitas hidrolik batuan yang dikategorikan sedang hingga sangat rendah) serta penambangan bawah tanah metode ambrukan yang belum dimulai. Hasil pemodelan geoteknik menunjukkan juga terjadinya penurunan kekakuan (stiffness) massa batuan dari sistem tambang terbuka-tambang bawah seiring membesarnya bukaan tambang bawah tanah akibat kemajuan ambrukan (caving). Metodologi analisis penilaian kestabilan lereng tambang terbuka dengan mempergunakan parameter tegangan !" dan !$ (tegangan prinsipal mayor dan minor) dari kejadian longsor aktual dapat dipergunakan sebagai acuan atau indikator kestabilan lereng pada proses transisi dan interaksi ke metode tambang bawah tanah ambrukan. Indikator kestabilan lereng tersebut dan pengoptimalan gabungan data arah tegangan horizontal yang tinggi dari analisis pencakraman inti serta bentuk lereng yang stabil dapat dipergunakan sebagai masukan dalam perencanaan tambang bawah tanah, penentuan lokasi infrastruktur tambang, dan prioritas perawatan tambang terbuka untuk meminimalkan potensi terjadinya longsor dini dan ketidakstabilan infrastruktur tambang jangka panjang.