Pada batas kedalaman tertentu, tambang terbuka sudah tidak layak untuk dilanjutkan
berdasarkan kajian teknis dan evaluasi ekonomi. Metode tambang bawah tanah
ambrukan (block caving) menjadi salah satu alternatif untuk melanjutkan penambangan
pada badan bijih yang sama. Proses transisi dari tambang terbuka ke tambang bawah
tanah metode ambrukan mengakibatkan terjadinya perubahan geometri dan dimensi
bukaan tambang. Perubahan tersebut akan berpengaruh terhadap distribusi tegangan,
konfigurasi air tanah, dan juga kekakuan (stiffness) dari sistem tambang terbuka dan
tambang bawah tanah serta meningkatkan risiko ketidakstabilan lereng tambang terbuka.
Longsor dini (early failure) merupakan salah satu risiko geoteknik di lereng tambang
terbuka pada proses transisi dan interaksi tersebut. Material longsor dapat menutupi dasar
tambang terbuka dan berpotensi menyebabkan pengotoran dini (early dilution) serta
berkurangnya cadangan tambang bawah tanah secara signifikan. Pengetahuan dan
pemahaman yang lebih baik mengenai karakteristik kestabilan lereng tambang terbuka
pada proses transisi dan interaksi tambang terbuka ke tambang bawah tanah metode
ambrukan akan membantu pengelolaan kestabilan lereng tambang terbuka.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan metodologi analisis untuk menilai
kestabilan lereng tambang terbuka yang relatif praktis dan dapat meminimalkan
terjadinya longsor dini, sekaligus memaksimalkan: 1) data pencakraman inti (core
disking), 2) hasil pemantauan perpindahan (displacement monitoring) yang terkait
dengan bentuk lereng dan kedalaman tambang, 3) hasil pemantauan muka air tanah di
crown pillar, dan 4) data pengukuran tegangan in-situ sebagai masukan dalam
perencanaan tambang.
Data pencakraman inti dapat dipergunakan sebagai indikator tegangan horizontal yang
tinggi dengan arah tegak lurus terhadap sumbu pengeboran. Hasil pemodelan geoteknik
dan data pemantauan prisma menunjukkan bahwa geometri dan dimensi bukaan tambang
berpengaruh terhadap kestabilan lereng (kedalaman tambang, ketebalan crown pillar,
serta bentuk lereng). Kedalaman tambang melebihi 500 meter dan ketebalan crown pillar
kurang dari 80 meter menjadi batas kritis di Tambang Terbuka Grasberg ketika mulai
terjadi peningkatan tegangan dan perpindahan yang signifikan. Sementara bentuk lereng
cekung (tampak atas) secara umum lebih stabil dibandingkan bentuk lereng lurus atau
cembung (memiliki rata-rata perpindahan yang lebih rendah 14-20%). Pada pemantauan
muka air tanah di crown pillar dengan mempergunakan piezometer menunjukkan tidak
adanya relasi yang kuat antara kenaikan muka air tanah dengan curah hujan serta
kenaikan air permukaan di dasar tambang pada saat itu. Hal ini berkaitan dengan
rendahnya permeabilitas batuan (RQD rata-rata atau Rock Quality Designation 50-80%
dan konduktivitas hidrolik batuan yang dikategorikan sedang hingga sangat rendah) serta
penambangan bawah tanah metode ambrukan yang belum dimulai. Hasil pemodelan
geoteknik menunjukkan juga terjadinya penurunan kekakuan (stiffness) massa batuan
dari sistem tambang terbuka-tambang bawah seiring membesarnya bukaan tambang
bawah tanah akibat kemajuan ambrukan (caving).
Metodologi analisis penilaian kestabilan lereng tambang terbuka dengan
mempergunakan parameter tegangan !" dan !$ (tegangan prinsipal mayor dan minor)
dari kejadian longsor aktual dapat dipergunakan sebagai acuan atau indikator kestabilan
lereng pada proses transisi dan interaksi ke metode tambang bawah tanah ambrukan.
Indikator kestabilan lereng tersebut dan pengoptimalan gabungan data arah tegangan
horizontal yang tinggi dari analisis pencakraman inti serta bentuk lereng yang stabil dapat
dipergunakan sebagai masukan dalam perencanaan tambang bawah tanah, penentuan
lokasi infrastruktur tambang, dan prioritas perawatan tambang terbuka untuk
meminimalkan potensi terjadinya longsor dini dan ketidakstabilan infrastruktur tambang
jangka panjang.