digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Tingkat konsumsi energi dunia khususnya biodiesel terus meningkat dan diperkirakan akan terus meningkat hingga 2035. Namun, di sisi lain persediaan sumber bahan baku energi fosil semakin menipis sehingga perlu mencari sumber energi terbarukan. Saat ini, bahan baku energi terbarukan diperoleh dari tumbuhan daratan. Namun, tumbuhan daratan sangat riskan apabila digunakan untuk sumber bahan biodiesel karena dikhawatirkan akan terjadi kompetisi dengan keperluan pangan. Oleh karena itu, perlu mencari sumber bahan baku energi terbarukan lainnya. Beberapa studi telah melaporkan bahwa mikroalga mempunyai kandungan asam lemak yang tinggi dan bisa menjadi sumber alternatif untuk produksi biodiesel. Mikroalga adalah tumbuhan mikro yang jumlahnya melimpah di perairan. Indonesia mempunyai lautan luas yang menyimpan beraneka ragam mikroalga dan potensial untuk dijadikan sumber bahan baku biodiesel. Penelitian ini ditujukan untuk melihat potensi mikroalga Thalassiosira sp. dan Chaetoceros sp. sebagai sumber asam lemak dan biodiesel. Pada penelitian ini, mula-mula monokultur mikroalga diaktivasi dengan sistem Batch untuk memperpendek masa adaptasi dan memperoleh inokulum mikroalga yang sedang aktif membelah. Inokulum mikroalga diperbanyak dengan sistem yang sama dengan proses aktivasi. Pengamatan pertumbuhan mikroalga dilakukan untuk memperoleh profil pertumbuhan, waktu pemanenan yang tepat, dan jumlah biomassa yang cukup untuk proses berikutnya. Sel mikroalga kemudian dipanen dengan cara sentrifugasi, dan pasta disimpan. Setelah diperoleh biomassa mikroalga yang cukup, dilakukan proses ekstraksi untuk memperoleh lipid mikroalga dengan menggunakan alat Soxhlet dan pelarut kloroform:metanol (1:1). Lipid hasil ekstraksi kemudian ditransesterifikasi dan biodiesel yang terbentuk dianalisis secara kualitatif melalui uji nyala sederhana. Kultur mikroalga yang menjadi semakin pekat menunjukkan mikroalga berhasil diaktivasi dan jumlah selnya bertambah. Profil kurva pertumbuhan kedua mikroalga menunjukkan profil fase-fase pertumbuhan mikroorganisme pada umumnya. Jumlah biomassa optimum dari kultur Thalassiosira sp. diperoleh pada hari ke-10 dengan kepadatan sel 8,71×106 sel/ml, dan kultur Chaetoceros sp. optimum pada hari ke-9 dengan kepadatan sel 8,84×106 sel/ml. Konsentrasi pasta mikroalga Thalassiosira sp. dan Chaetoceros sp. yang diperoleh berturut-turut 10,41 dan 7,63 g/l. Ekstraksi lipid dari sel mikroalga menghasilkan padatan berwarna coklat. Warna coklat kemungkinan disebabkan oleh ikut terekstraknya pigmen yang terkandung dalam mikroalga yang merupakan pigmen fukosantin berwarna coklat. Sementara wujud padatan kemungkinan dikarenakan kandungan lipid didominasi oleh asam lemak jenuh. Massa ekstrak lipid yang diperoleh dari Thalassiosira sp. adalah 2,27 g atau 21,78% dari jumlah pasta mikroalga, dan dari Chaetoceros sp. sebesar 1,23 g atau 16,20% dari jumlah pasta mikroalga. Transesterifikasi lipid dengan metanol menghasilkan biodiesel yang berwarna coklat. Warna coklat ini berasal dari ekstrak lipid yang masih mengandung pigmen. Massa biodiesel yang diperoleh dari Thalassiosira sp sebanyak 1,92 g atau 84,58% dari total lipid, dan dari Chaetoceros sebenyak 0,88 g atau 71,55% dari total lipid. Uji nyala sederhana dilakukan untuk melihat ciri bahan bakar biodiesel secara kualitatif. Sebagai perbandingan, uji nyala juga dilakukan terhadap minyak tanah dan biodiesel dari minyak kelapa sawit. Hasil uji nyala sederhana menunjukkan nyala api biodiesel Thalassiosira sp. dan Chaetoceros sp. hampir sama besar dengan nyala api biodiesel minyak kelapa sawit namun tidak sebesar nyala api minyak tanah. Walaupun tak sebesar minyak tanah, nyala api biodiesel dari mikroalga ini menunjukkan bahwa Thalasiosira sp. dan Chaetoceros sp. dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif.