digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Lee Man Fong merupakan seniman yang bermigrasi ke Hindia-Belanda pada kurun 1930-an. Seperti kebanyakan diaspora lainnya, ia mempunyai dorongan untuk berasimilasi ke dalam struktur kemasyarakatan dan kebudayaan lokal. Hal ini terlihat dalam usaha-usahanya dalam membangun karirnya sebagai seniman dengan tetap menghadirkan pemahaman dan nilai-nilai yang sebelumnya ia bawa, yaitu menghadirkan estetika Lukisan Cina pada karya-karyanya. Melalui aktivitasnya dalam berkesenian, Lee Man Fong akhirnya diangkat menjadi Pelukis Istana pada 1961. Penelitian merumuskan masalah seputar kediasporaan yang ada pada Lee Man Fong ditinjau dari nilai-nilai estetis yang terdapat dalam lukisannya. Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif dalam studi pustakanya serta mengumpulkan data berupa penjelasan yang relevan. Konsep teori Diaspora Tionghoa, Estetika Lukisan Cina, kecenderungan mimesis dalam berkarya, dan metode Kritik Seni merupakan sejumlah kerangka teori yang diaplikasikan pada sampel-sampel penelitiannya. Adapun batasan masalah yang ditetapkan dalam pengambilan sampelnya adalah lukisan-lukisan Lee Man Fong yang terdapat pada koleksi Istana Negara pada 1950-1965 sebanyak 16 buah pada buku “Lukisanlukisan dan Patung-patung Presiden Soekarno” yang diterbitkan tahun 1964. Pada hasil akhirnya, kesimpulan yang didapat merupakan penjelasan antara hubungan nilai-nilai estetis pada lukisan-lukisannya dengan kediasporaan yang ada pada Lee Man Fong. Sebagai seniman dengan latar belakang diaspora Tionghoa, Lee Man Fong mengimplementasikan pengetahuan estetisnya yang berdasar pada ajaran-ajaran tradisional Tiongkok dalam karya-karyanya. Namun kesadaran identitas diaspora yang dipunya merupakan salah satu arah gerak dalam memposisikan dirinya sebagai individu yang mempunyai tempat tersendiri dalam perkembangan karirnya sebagai seniman, dengan cara membawa budaya asli serta gaya hidup yang disesuaikan dengan pola yang dipelajari pada tanah kedatangannya.