Konflik 22 hari (27 Desember 2008-18 Januari 2009) di Jalur Gaza menyita banyak perhatian dunia. Sekitar 1.300 warga Palestina dan 14 warga Israel tebunuh dalam konfik tersebut. Pertempuran yang melibatkan pasukan Israel dan pasukan Hamas di pihak Palestina ini sebenarnya merupakan rangkaian konflik panjang antara kedua belah pihak yang tak kunjung usai.
Selain menggunakan senjata dan pengaruh lobi terhadap masyarakat internasional, kedua pihak yang berkonflik juga memanfaatkan informasi sebagai upaya untuk mencapai tujuan. Mereka mempercayai bahwa informasi yang tersebar di masyarakat memiliki pengaruh besar dalam pencapaian tujuan konflik. Lewat penyebaran informasi, mereka juga berupaya mendapatkan legitimasi atas peperangan yang dijalani.
Tesis ini memberi gambaran tentang pola pengelolaan informasi yang berlangsung dalam konflik di Jalur Gaza. Melalui metode penelitian analisis wacana, informasi seputar konflik yang dikembangkan Israel maupun Hamas digolongkan dalam empat tema yakni soal alasan berperang, tujuan berperang, korban peperangan, dan gencatan senjata. Sedangkan sumber pernyataan yang dianalisis hanyalah pemimpin kedua pihak yang benar-benar memiliki peran penting dalam proses pengambilan keputusan perang.
Dari analisis terhadap wacana yang dikembangkan dalam konflik Gaza terungkap adanya persamaan dan perbedaan pola pengelolaan wacana di antara Israel dan Hamas. Baik Israel maupun Hamas menempatkan diri sebagai korban yang memiliki hak untuk membela diri melalui konflik tersebut.
Israel berupaya meyakinkan bahwa korban yang jatuh adalah pasukan Hamas dan bukan masyarakat sipil. Sebaliknya, Hamas menunjukkan bahwa korban yang jatuh dalam gempuran Israel ke Jalur Gaza itu adalah warga sipil dan sebagian di antaranya anak-anak juga perempuan. Sikap keduanya juga terlihat sedikit berbeda dalam menanggapi isu gencatan senjata. Israel selalu menolak usul gencatan senjata, sementara Hamas cenderung lebih akomodatif.
Lewat berbagai pesan yang disampaikan selama konflik, kedua pihak hendak menciptakan wacana yang bisa diterima masyarakat luas. Masing-masing pihak mengharapkan agar wacana yang dikembangkan itu dianggap sebagai kebenaran, sementara wacana yang dikembangkan lawan dianggap keliru.
Pola yang dijalankan untuk mengembangkan wacana itu antara lain berupa reduksi realitas, disinformasi, ideologisasi media, juga penyebaran informasi artifisial. Keduanya juga membangun akses media dengan cara masing-masing. Israel memanfaatkan dukungan fisik dalam mengembangkan informasinya. Hamas tidak bisa menggunakan dukungan fisik dengan kekuasaan serta teknologinya yang terbatas.