digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Bandara Internasional Soekarno-Hatta (selanjutnya disingkat BSH) merupakan bandara terbesar dan tersibuk di Indonesia. Bobot pengguna angkutan udara yang melalui BSH tidak hanya bertumpu pada banyaknya jumlah penumpang, tetapi juga menonjol pada angkutan barang (kargo) yang diangkut. Meningkatnya arus lalu lintas kargo di BSH berkaitan erat dengan perkembangan dan pertumbuhan perekonomian nasional, regional dan internasional. Hal ini tidak terlepas dari kedudukan BSH sebagai pintu gerbang utama kawasan Jabodetabek sebagai pusat aktivitas nasional yang sangat strategis khususnya peran ibukota Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian nasional. Dengan semakin bertumbuhnya pergerakan kargo dan angkutan penumpang melalui BSH, maka fasilitas yang ada sudah tidak memadai lagi. Fasilitas kargo yang terdapat di BSH saat ini adalah Gedung 510, Gedung 520, dan Gedung 530 yang menangani kargo baik domestik maupun internasional yang sifatnya berupa pergudangan, sehingga sering terjadi penumpukan kargo. Berkembangnya konsep kargo dan logistik modern serta semakin tumbuhnya pergerakan kargo eksisting di BSH, maka fasilitas yang ada saat ini sudah tidak mampu mengakomodasi pergerakan kargo di masa mendatang, khususnya yang dapat mengelola International Cargo Transhipment. Atas tuntutan kebutuhan tersebut serta demi mewujudkan konsep BSH sebagai main hub cargo di kawasan Asia - Pasifik, maka PT (Persero) Angkasa Pura II (AP II) sebagai pengelola BSH sesuai dengan Master Plan yang dimiliki berencana untuk mengoptimalkan lahan idle yang dimiliki sekaligus menangkap peluang dari penyediaan fasilitas pemprosesan kargo terpadu di masa mendatang dengan membangun Terminal Kargo. Untuk merealisasikan ide pembangunan tersebut, PT (Persero) Angkasa Pura II diperhadapkan dengan masalah pendanaan dan pola pengelolaan. Alternatif solusi yang ada antara lain, dikelola sendiri, sewa dan konsesi, kerjasama operasi, BOT (Build Operate Transfer) & BOO (Build Operate Own), perusahaan patungan (joint venture). Masing-masing alternatif solusi tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan. Akan tetapi untuk kondisi perusahaan sekarang, strategi yang terbaik adalah menggandeng investor dengan pola kerjasama BOT (Build Operate Transfer). Implementasi pengelolaan BOT (Build Operate Transfer) dimulai dengan melakukan kajian-kajian kelayakan usaha pembangunan Terminal Kargo. Dengan solusi ini, investor akan melakukan pembangunan, pengelolaan dengan dana sendiri selama masa konsesi yaitu 20 tahun. Berdasarkan hasil perhitungan kriteria investasi, dengan proyek ini investor akan memperoleh IRR (20,45%), PBP (8,09 years) and positive NPV (Rp1.629.487.449,88). Pada akhir konsesi yaitu pada tahun 2027, semua aset yang terawat dengan baik akan berpindah kepada pihak PT AP II.