digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Dokumen Asli
Terbatas  Dessy Rondang Monaomi
» Gedung UPT Perpustakaan

Menurut World Health Organization, setiap tahun, 250.000 hingga 500.000 orang di seluruh dunia mengalami cedera pada sumsum tulang belakang, yang dikenal sebagai spinal cord injury (SCI). Dari jumlah tersebut, lebih dari setengahnya menderita tetraplegia, suatu kondisi di mana pasien kehilangan kemampuan untuk menggerakkan keempat anggota tubuhnya, termasuk lengan dan kaki. Tanpa pemulihan yang memadai, pasien tetraplegia memiliki harapan hidup yang lebih rendah dan menghadapi biaya medis yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kelumpuhan lainnya. Berdasarkan berbagai survei independen yang dilakukan di berbagai negara, pemulihan kemampuan motorik anggota gerak atas, terutama tangan, dianggap sebagai prioritas utama bagi pasien tetraplegia. Kemampuan untuk menggunakan tangan mereka kembali adalah faktor utama yang menentukan kualitas hidup mereka. Pemulihan fungsi motorik tangan dapat dilakukan melalui berbagai metode, mulai dari rehabilitasi non-operatif dengan terapi motorik, bedah rekonstruktif, hingga penggunaan prostetik yang dikendalikan oleh antarmuka otak-mesin atau brain- machine interface (BMI). Seiring dengan kemajuan teknologi, solusi BMI yang bersifat intrakranial, atau ditempatkan di dalam tengkorak, semakin menarik perhatian para peneliti karena pendekatannya yang dipersonalisasi dan mampu merekam aktivitas saraf dengan resolusi serta kualitas yang lebih tinggi. Dalam konteks ini, prediksi pergerakan tangan berdasarkan sinyal otak dapat dilakukan melalui sistem pengenalan pola atau dekoder neural yang berbasis model artificial neural network (ANN). Dekoder berbasis ANN telah terbukti mampu mencapai akurasi prediksi yang lebih tinggi dibandingkan dekoder konvensional seperti filter Wiener dan filter Kalman. Namun, kendala utama dari dekoder berbasis ANN adalah ukuran, kompleksitas, serta konsumsi daya yang melebihi batasan yang dapat diterima untuk diimplantasikan di dalam otak. Sebagai alternatif, dekoder berbasis model spiking neural network (SNN), yang sering disebut sebagai generasi ketiga dari neural network, menawarkan solusi yang lebih efisien dalam penggunaan sumber daya komputasi tanpa mengorbankan ii akurasi. Dekoder berbasis SNN memanfaatkan algoritma bersifat neuromorphic, yang telah diaplikasikan dalam berbagai bidang medis seperti pengolahan citra, deteksi kejang epilepsi, dan pengendalian pergerakan kursor komputer. Dekoder ini tidak hanya lebih hemat energi tetapi juga mampu bekerja dalam kondisi real-time, menjadikannya pilihan ideal untuk aplikasi medis yang kritis. Penelitian ini mengajukan skema optimasi serta pelatihan dekoder berbasis SNN, yaitu Spiking Multilayer Perceptron (SMLP) dan Spiking Long Short-Term Memory (SLSTM), untuk memprediksi kecepatan ujung jari berdasarkan aktivitas spike dari sinyal otak intrakranial pada monyet rhesus (Macaca mulatta). Dekoder berbasis SNN ini kemudian dibandingkan dengan dekoder berbasis ANN yang telah dilatih ulang berdasarkan penelitian terdahulu. Perbandingan dilakukan dengan dua metode pemrosesan input yang berbeda: metode binning, yang umum digunakan untuk dekoder berbasis ANN, dan metode streaming, yang lebih sesuai untuk dekoder berbasis SNN. Perbandingan dilakukan dengan menggunakan berbagai metrik, termasuk akurasi yang diukur dengan koefisien korelasi Pearson (CC) dan koefisien determinasi (R2), ukuran memory footprint dalam kilobyte (kB), kompleksitas dalam jumlah operasi sinaptik, serta waktu prediksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi metode pemrosesan input streaming dengan dekoder SMLP menghasilkan akurasi tertinggi dibandingkan dengan variasi dekoder lainnya yang menggunakan skema input real-time. Dekoder ini menunjukkan peningkatan akurasi sebesar 16,86% dalam CC dan 33,33% dalam R2 dibandingkan dengan dekoder Binning-MLP. Selain itu, ukuran dekoder SMLP ditemukan 68,83 kali lebih kecil, dan jumlah operasi sinaptik 71,84 kali lebih sedikit. Waktu prediksi yang dibutuhkan dekoder Streaming-SMLP lebih rendah dari pada frekuensi sampling sensor pergerakan ujung jari, sehingga dekoder ini dapat diterapkan secara real-time. Komunikasi antar unit dalam dekoder Streaming- SMLP hanya melibatkan aktivasi biner, sehingga hanya memerlukan sumber daya komputasi yang rendah. Implementasi dekoder Streaming-SMLP pada perangkat keras yang bersifat neuromorphic dapat memperjelas kelebihan dari dekoder berbasis SNN. Dengan demikian, penelitian ini menegaskan potensi besar dari dekoder berbasis SNN sebagai solusi yang lebih efisien untuk memprediksi pergerakan tangan pada pasien tetraplegia, memberikan harapan baru dalam pengembangan teknologi pemulihan motorik yang lebih canggih dan personal. Selain itu, penelitian ini juga menyajikan analisis komparatif antara dekoder berbasis SNN dan dekoder berbasis ANN, yang dapat menjadi dasar penting dalam pengembangan lebih lanjut dari kedua jenis dekoder tersebut. Analisis ini memberikan wawasan mendalam tentang keunggulan dan kelemahan masing-masing pendekatan, serta membuka peluang untuk mengintegrasikan kelebihan keduanya dalam aplikasi klinis di masa depan.