Indonesia, sebagai negara kepulauan, memiliki potensi luar biasa di sektor laut.
Namun, luasnya wilayah laut juga membawa potensi ancaman yang serius, baik
terkait dengan masalah sumber daya alam maupun masalah teritorial. Untuk
mengatasi ancaman-ancaman ini, diperlukan sistem pengawasan yang efektif, salah
satunya adalah melalui pengembangan wahana bawah laut yang mampu melakukan
pengawasan dalam jangka waktu yang lama. Salah satu pilihan wahana yang cocok
adalah Autonomous Underwater Glider (AUG)-Hybrid. AUG telah dikenal selama
satu dekade sebagai wahana yang efisien dalam menjelajah dan beroperasi. Namun,
untuk meningkatkan kemampuannya, penambahan komponen "Hybrid" seperti
thruster menjadi pilihan yang tepat, karena dapat meningkatkan kemampuan
manuver dan kecepatan wahana. Dengan penambahan sistem hybrid, kebutuhan
akan sistem kendali yang adaptif dan efisien dalam menjelajahi lingkungan bawah
laut yang kompleks menjadi semakin penting. Oleh karena itu, pengembangan
sistem kendali yang adaptif dan efisien, serta perencanaan jalur dan rute yang tepat,
menjadi fokus utama dalam disertasi ini.
Disertasi ini bertujuan untuk mengembangkan pendekatan terpadu dalam
pengembangan wahana hybrid autonomous underwater glider (HAUG), yang
meliputi empat tahap utama. Tahap pertama melibatkan pembangunan model
matematika wahana dan lingkungan bawah laut sebagai dasar untuk pengembangan
lebih lanjut. Tahap kedua fokus pada pembuatan simulasi dan implementasi wahana
sesungguhnya berdasarkan model yang telah dikembangkan. Pada tahap ketiga,
sistem kendali yang efisien dan adaptif diperkenalkan menggunakan metode
Nonlinear Model Predictive Control (NMPC) dan Trapezoidal Proportional
Integral Derivative (PID) untuk mengatasi tantangan navigasi dalam lingkungan
yang dinamis. Terakhir, tahap keempat memperkenalkan pendekatan baru untuk
perencanaan jalur dan routing yang memanfaatkan algoritma RRT* dengan
kinodynamic dan integrasi NMPC, bertujuan untuk meningkatkan kemampuan
navigasi dan kendali wahana HAUG dalam menjelajahi lingkungan bawah laut
dengan lebih efisien dan adaptif. Evaluasi kinerja dilakukan melalui simulasi dan
eksperimen lapangan, yang menunjukkan peningkatan signifikan dalam
kemampuan mengikuti jalur dan kendali wahana HAUG.
Hasil dari disertasi ini mencakup beberapa kontribusi penting. Pertama,
menghasilkan model dinamika dan kinematika HAUG, serta model konsumsi
energi dan lingkungan. Model-model ini dibangun menggunakan framework
aplikasi Mission Oriented Operating Suite - Interval Programming (MOOS-IvP)
dan Robot Operating System (ROS). Simulasi menunjukkan bahwa kinerja HAUG
sesuai dengan desainnya, dengan mencapai kecepatan maksimum 2 m/s dalam
mode Autonomous Underwater Vehicle (AUV) dan 0,5 m/s dalam mode glider.
Selain itu, dalam mode glider, simulasi menunjukkan stabilitas sudut pitch pada
sudut antara 21° hingga 30° dengan energi paling rendah pada sudut 21°.
Kemudian, penelitian menunjukkan bahwa sistem kendali berbasis NMPC
memiliki konsumsi energi yang lebih rendah dibandingkan dengan metode
Trapezoidal PID. Selama pengujian, konsumsi energi menggunakan metode
Trapezoidal PID mencapai 113,64 J, sedangkan sistem kendali NMPC hanya
membutuhkan 91,75 J dengan sudut yang dihasilkan antara 19° hingga 25°.
Meskipun diujikan dengan target dan waktu yang sama, hasil menunjukkan bahwa
NMPC lebih efisien dalam penggunaan energi lebih rendah sebesar 19,2%.
Terakhir, hasil simulasi menggunakan RRT*-Kinodynamic menunjukkan bahwa
penggunaan algoritma yang dikembangkan dapat mengurangi waktu tempuh
wahana hingga 9,7% dan penggunaan energi hingga 12,03% dalam kasus yang
diuji.
Evaluasi kinerja dilakukan melalui kombinasi simulasi dan eksperimen. Hasilnya
menunjukkan bahwa pendekatan RRT-Kinodynamic meningkatkan kemampuan
wahana untuk menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi lingkungan. Integrasi
NMPC dan algoritma RRT*-Kinodynamic memungkinkan HAUG mencapai
hampir semua waypoint dengan perbedaan jarak rata-rata Cross-Track Error (CTE)
sebesar 2,10 meter dari pengukuran sensor GPS dan 0,57 meter dari simulasi
terhadap jalur waypoint yang diinginkan. Standar deviasi dari CTE adalah 0,95
meter untuk jalur GPS dan 0,23 meter untuk jalur simulasi, menggambarkan
kemampuan adaptif dan dinamis dari pendekatan tersebut dalam menghadapi
kondisi lingkungan yang kompleks.