digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

2007 TS PP JOHN PIETER SIMANJUNTAK 1-COVER.pdf


Pages from 2007 TS PP JOHN PIETER SIMANJUNTAK 1-BAB1.pdf

Pages from 2007 TS PP JOHN PIETER SIMANJUNTAK 1-BAB2.pdf

Pages from 2007 TS PP JOHN PIETER SIMANJUNTAK 1-BAB3.pdf

Pages from 2007 TS PP JOHN PIETER SIMANJUNTAK 1-BAB4.pdf

Pages from 2007 TS PP JOHN PIETER SIMANJUNTAK 1-BAB5.pdf

2007 TS PP JOHN PIETER SIMANJUNTAK 1-BAB6.pdf

2007 TS PP JOHN PIETER SIMANJUNTAK 1-PUSTAKA.pdf

Abstrak: Tingkat kemiskinan yang relatif tinggi terdapat di provinsi Riau yaitu sebesar 1.953.660 jiwa (41,45persen) dari jumlah penduduk sebesar 4.713.295 jiwa merupakan suatu permasalahan yang hingga kini belum dapat diatasi. Penduduk miskin tersebut berada hampir merata di 9 kabupaten dan 2 kota. Berbagai upaya untuk menurunkan angka kemiskinan tersebut sudah dilakukan bahkan hingga kini masih terus diupayakan oleh pemerintah daerah, pemerintah pusat, pihak swasta, bahkan masyarakat itu sendiri. Ada sebanyak 3.340.312 jiwa (70,87persen) penduduk yang bekerja dalam bidang pertanian dan perkebunan di provinsi Riau. Dari jumlah penduduk yang bekerja dalam bidang pertanian dan perkebunan tersebut, ada penduduk yang masih miskin dan ada pula yang tidak miskin. Sementara itu, provinsi Riau dikenal oleh banyak orang sebagai provinsi yang kaya akan sumber daya alam. Namun kekayaan alam provinsi Riau tersebut tidaklah dengan sendirinya dapat mensejahterakan kehidupan masyarakat yang ada di provinsi Riau. Selain minyak bumi, di provinsi Riau juga terdapat lahan yang sesuai untuk perkebunan kelapa sawit. Menurut Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) provinsi Riau tahun 1994, dari luas wilayah provinsi Riau 8.135.897 Ha telah ditetapkan kawasan perkebunan kelapa sawit seluas 3.133.398 Ha (38,5persen). Dari luas kawasan perkebunan itu, yang telah ditanami kelapa sawit ada seluas 1.639.452 Ha sehingga masih ada lahan yang tersedia seluas kurang lebih 1.493.946 Ha. Untuk dapat menjamin kepemilikan lahan kelapa sawit bagi masyarakat miskin di provinsi Riau, maka diperlukan suatu pola kerjasama pembangunan yang tepat. Beberapa pola kerjasama pembangunan perkebunan kelapa sawit di provinsi Riau telah pernah dilakukan diantaranya: Pola PIR Trans, Pola KKPA, dan Pola K2-I. Ketiga pola kerjasama pembangunan ini memang dapat menjamin kepemilikan lahan perkebunan kelapa sawit secara hak milik bagi masyarakat miskin, meskipun terdapat beberapa kelemahan dan ketidak efesienan sehingga tidak dapat dilaksanakan secara berkelanjutan. Pada bagian akhirnya, penulis memperkenalkan suatu pola kerjasama pembangunan yang disebut dengan Pola Alternatif. Pola Alternatif ini merupakan suatu kombinasi dari ketiga pola kerjasama pembangunan perkebunan kelapa sawit yang pernah ada di provinsi Riau. Kelemahan-kelemahan dari pola-pola kerjasama pembangunan yang ada digantikan dengan alternatif yang baru sedangkan kelebihan-kelebihan dari pola kerjasama pembangunan yang lama tetap dipertahankan. Dengan penerapan Pola Alternatif ini sebagai pola kerja sama pembangunan perkebunan kelapa sawit di provinsi Riau, akan dapat menjamin kepemilikan lahan kelapa sawit secara hak milik bagi masyarakat miskin. Dengan demikian, maka pendapatan masyarakat akan bertambah dan dengan sendirinya hal itu dapat menurunkan tingkat kemiskinan di Provinsi Riau.