Pemanfaatan teknologi realitas virtual mengalami peningkatan sejak era pandemi
COVID-19. Peningkatan ini tidak hanya pada sisi kuantitas pengguna, namun juga
dari sisi variasi aplikasinya. Teknologi realitas virtual yang awalnya hanya
diaplikasikan pada bidang hiburan, merambah bidang lain seperti pendidikan,
kesehatan, pariwisata dan lainnya. Hal ini menjadikan realitas virtual dianggap
sebagai teknologi yang akan sangat dekat dengan kehidupan manusia di masa
depan. Namun di balik semua itu, terdapat satu masalah pokok berkaitan dengan
interaksi manusia dengan teknologi realitas virtual. Masalah tersebut berkaitan
dengan munculnya gejala-gejala yang mirip dengan mabuk gerak setelah
berinteraksi dengan realitas virtual. Kondisi ini disebut sebagai visually induced
motion sickness (VIMS). Hal ini tentunya menjadi hambatan besar pada usaha
pengembangan teknologi realitas virtual. Evaluasi gejala ini dilakukan sebagai
usaha untuk mengatasi hambatan tersebut. Salah satu pendekatan yang dilakukan
dalam mengevaluasi gejala mabuk gerak ini adalah melalui pengukuran parameter
fisis tubuh manusia. Parameter kelistrikan gelombang otak menjadi satu hal yang
akan dikaji pada penelitian ini. Modalitas elektroensefalografi akan digunakan
dalam mengukur sinyal listrik pada otak ketika seseorang diberi tayangan video
realitas virtual. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh hubungan antara
dinamika gelombang otak terhadap pemberian tayangan realitas virtual.
Penelitian ini terdiri atas lima eksperimen dengan satu eksperimen pendahuluan dan
empat eksperimen utama. Eksperimen pendahuluan bertujuan sebagai tolok ukur
untuk eksperimen selanjutnya. Eksperimen utama disusun berdasarkan model
VIMS yang berkaitan dengan teori konflik sensori. Eksperimen pertama dilakukan
untuk mengetahui pengaruh sangkar Faraday terhadap sinyal elektroensefalografi
yang terekam. Selain itu, pada eksperimen ini dilihat pula pengaruh pengoperasian
HMD terhadap hasil sinyal yang terekam. Hasil eksperimen ini akan menentukan
ruang untuk pelaksanaan pengukuran di eksperimen selanjutnya. Eksperimen kedua
dilakukan untuk membandingkan pengaruh perbedaan medan pandang subjek
melalui media realitas virtual, yaitu layar dan HMDterhadap gejala VIMS.
Eksperimen ketiga bertujuan untuk membandingkan pengaruh variasi parameter
fisis gerak dari konten realitas virtual. Eksperimen keempat dilakukan untuk
melihat pengaruh frame rate dan laju tayang video. Sedangkan eksperimen kelima bertujuan untuk melihat bagaimana efek unsur optokinetik yang disisipkan dalam
video realitas virtual.
Sinyal EEG yang diperoleh kemudian diolah melalui pre-pemrosesan yang meliputi
proses filtering dan esktraksi fitur berupa perhitungan rapat spektrum daya. Hasil
rapat spektrum daya ini yang kemudian dianalisis berkaitan dengan karakteristik
tayangan realitas virtual yang diberikan. Analisis secara kualitatif juga dilakukan
melalui pemberian simulator sickness questionnaire (SSQ) sebagai pembanding.
Pemberian VR melalui head-mounted display (HMD) menunjukan efek VIMS
yang lebih besar dibandingkan dengan menggunakan layar. Hal ini terbukti melalui
perubahan signifikan pada power spectral density (PSD) yang terjadi saat subjek
melihat tayangan VR melalui HMD. Variasi karakteristik gerakan juga
mempengaruhi tingkat VIMS yang dirasakan subjek, terutama ketika gerakan
menjadi lebih kompleks atau menghasilkan sensasi vection sirkular. Perubahan
frame rate video VR dan laju video dari nilai normalnya juga berpengaruh pada
tingkat VIMS, dengan penurunan frame rate menjadi 15 fps memberikan efek yang
signifikan.
Aspek optokinetik juga mempengaruhi tingkat VIMS, di mana frekuensi
pengulangan pola memiliki dampak yang lebih besar daripada jumlah pola pada
video. Beban kognitif yang dialami subjek dapat terindikasi melalui rasio daya
beta/alpha, yang memiliki korelasi positif dengan tingkat VIMS yang dirasakan
subjek. Di sisi lain, tingkat stres yang dialami subjek dapat terindikasi melalui rasio
daya theta/beta, yang memiliki korelasi negatif dengan tingkat VIMS yang
dirasakan subjek. Peningkatan beban kognitif dan tingkat stres biasanya terjadi
pada beberapa aspek video seperti karakteristik gerakan yang semakin kompleks,
penurunan frame rate menjadi 15 fps, peningkatan laju video, dan peningkatan
frekuensi pola pengulangan optokinetik.
Berdasarkan hal tersebut, diperoleh bahwa pemberian tayangan VR telah
meningkatkan kemunculan gejala VIMS yang diderita yang terkonfirmasi dari hasil
kuesioner dan analisis sinyal EEG. Secara umum, telah diperoleh bagaimana
karakteristik sinyal gelombang otak berkaitan dengan gejala VIMS yang diderita
akibat tayangan realitas virtual. Hasil ini dapat menjadi langkah awal untuk
mengevaluasi secara kuantitatif efek negatif dari penggunaan teknologi realitas
virtual berupa VIMS. Oleh karena itu, penelitian ini dapat memberikan kontribusi
pada pengembangan teknologi realitas virtual.