digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Pemanfaatan teknologi realitas virtual mengalami peningkatan sejak era pandemi COVID-19. Peningkatan ini tidak hanya pada sisi kuantitas pengguna, namun juga dari sisi variasi aplikasinya. Teknologi realitas virtual yang awalnya hanya diaplikasikan pada bidang hiburan, merambah bidang lain seperti pendidikan, kesehatan, pariwisata dan lainnya. Hal ini menjadikan realitas virtual dianggap sebagai teknologi yang akan sangat dekat dengan kehidupan manusia di masa depan. Namun di balik semua itu, terdapat satu masalah pokok berkaitan dengan interaksi manusia dengan teknologi realitas virtual. Masalah tersebut berkaitan dengan munculnya gejala-gejala yang mirip dengan mabuk gerak setelah berinteraksi dengan realitas virtual. Kondisi ini disebut sebagai visually induced motion sickness (VIMS). Hal ini tentunya menjadi hambatan besar pada usaha pengembangan teknologi realitas virtual. Evaluasi gejala ini dilakukan sebagai usaha untuk mengatasi hambatan tersebut. Salah satu pendekatan yang dilakukan dalam mengevaluasi gejala mabuk gerak ini adalah melalui pengukuran parameter fisis tubuh manusia. Parameter kelistrikan gelombang otak menjadi satu hal yang akan dikaji pada penelitian ini. Modalitas elektroensefalografi akan digunakan dalam mengukur sinyal listrik pada otak ketika seseorang diberi tayangan video realitas virtual. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh hubungan antara dinamika gelombang otak terhadap pemberian tayangan realitas virtual. Penelitian ini terdiri atas lima eksperimen dengan satu eksperimen pendahuluan dan empat eksperimen utama. Eksperimen pendahuluan bertujuan sebagai tolok ukur untuk eksperimen selanjutnya. Eksperimen utama disusun berdasarkan model VIMS yang berkaitan dengan teori konflik sensori. Eksperimen pertama dilakukan untuk mengetahui pengaruh sangkar Faraday terhadap sinyal elektroensefalografi yang terekam. Selain itu, pada eksperimen ini dilihat pula pengaruh pengoperasian HMD terhadap hasil sinyal yang terekam. Hasil eksperimen ini akan menentukan ruang untuk pelaksanaan pengukuran di eksperimen selanjutnya. Eksperimen kedua dilakukan untuk membandingkan pengaruh perbedaan medan pandang subjek melalui media realitas virtual, yaitu layar dan HMDterhadap gejala VIMS. Eksperimen ketiga bertujuan untuk membandingkan pengaruh variasi parameter fisis gerak dari konten realitas virtual. Eksperimen keempat dilakukan untuk melihat pengaruh frame rate dan laju tayang video. Sedangkan eksperimen kelima bertujuan untuk melihat bagaimana efek unsur optokinetik yang disisipkan dalam video realitas virtual. Sinyal EEG yang diperoleh kemudian diolah melalui pre-pemrosesan yang meliputi proses filtering dan esktraksi fitur berupa perhitungan rapat spektrum daya. Hasil rapat spektrum daya ini yang kemudian dianalisis berkaitan dengan karakteristik tayangan realitas virtual yang diberikan. Analisis secara kualitatif juga dilakukan melalui pemberian simulator sickness questionnaire (SSQ) sebagai pembanding. Pemberian VR melalui head-mounted display (HMD) menunjukan efek VIMS yang lebih besar dibandingkan dengan menggunakan layar. Hal ini terbukti melalui perubahan signifikan pada power spectral density (PSD) yang terjadi saat subjek melihat tayangan VR melalui HMD. Variasi karakteristik gerakan juga mempengaruhi tingkat VIMS yang dirasakan subjek, terutama ketika gerakan menjadi lebih kompleks atau menghasilkan sensasi vection sirkular. Perubahan frame rate video VR dan laju video dari nilai normalnya juga berpengaruh pada tingkat VIMS, dengan penurunan frame rate menjadi 15 fps memberikan efek yang signifikan. Aspek optokinetik juga mempengaruhi tingkat VIMS, di mana frekuensi pengulangan pola memiliki dampak yang lebih besar daripada jumlah pola pada video. Beban kognitif yang dialami subjek dapat terindikasi melalui rasio daya beta/alpha, yang memiliki korelasi positif dengan tingkat VIMS yang dirasakan subjek. Di sisi lain, tingkat stres yang dialami subjek dapat terindikasi melalui rasio daya theta/beta, yang memiliki korelasi negatif dengan tingkat VIMS yang dirasakan subjek. Peningkatan beban kognitif dan tingkat stres biasanya terjadi pada beberapa aspek video seperti karakteristik gerakan yang semakin kompleks, penurunan frame rate menjadi 15 fps, peningkatan laju video, dan peningkatan frekuensi pola pengulangan optokinetik. Berdasarkan hal tersebut, diperoleh bahwa pemberian tayangan VR telah meningkatkan kemunculan gejala VIMS yang diderita yang terkonfirmasi dari hasil kuesioner dan analisis sinyal EEG. Secara umum, telah diperoleh bagaimana karakteristik sinyal gelombang otak berkaitan dengan gejala VIMS yang diderita akibat tayangan realitas virtual. Hasil ini dapat menjadi langkah awal untuk mengevaluasi secara kuantitatif efek negatif dari penggunaan teknologi realitas virtual berupa VIMS. Oleh karena itu, penelitian ini dapat memberikan kontribusi pada pengembangan teknologi realitas virtual.