RIFA AINI MALIDA ZAHRO
PUBLIC Latifa Noor
RIFA AINI MALIDA ZAHRO
EMBARGO  2027-08-13 
EMBARGO  2027-08-13 
RIFA AINI MALIDA ZAHRO
EMBARGO  2027-08-13 
EMBARGO  2027-08-13 
RIFA AINI MALIDA ZAHRO
EMBARGO  2027-08-13 
EMBARGO  2027-08-13 
RIFA AINI MALIDA ZAHRO
EMBARGO  2027-08-13 
EMBARGO  2027-08-13 
RIFA AINI MALIDA ZAHRO
EMBARGO  2027-08-13 
EMBARGO  2027-08-13 
RIFA AINI MALIDA ZAHRO
EMBARGO  2027-08-13 
EMBARGO  2027-08-13 
RIFA AINI MALIDA ZAHRO
PUBLIC Latifa Noor
Indonesia merupakan salah satu produsen minyak sawit terbesar di dunia.
Penggunaan minyak sawit menjadi sangat diminati karena aplikasinya beragam.
Salah satu produk turunan minyak sawit ialah epoksida minyak sawit (epoxidized
palm oil, EPO) dengan nilai ekonomi lebih tinggi dibanding PO (palm oil). EPO
dapat digunakan secara langsung sebagai pelentur polimer atau sebagai senyawa
antara dalam sintesis pelumas, perekat, maupun bahan pelapis. EPO dapat
digunakan untuk menggantikan ftalat sebagai bahan pelentur yang kini
penggunaannya dibatasi di Amerika dan Eropa karena bersifat karsinogenik. EPO
dihasilkan dengan mengoksidasi ikatan rangkap karbon-karbon rantai trigliserida
minyak sawit menjadi cincin oksiran. Sintesis EPO dalam industri umumnya
dilakukan dengan metode konvensional menggunakan hidrogen peroksida dan
asam mineral. Proses tersebut bersifat eksotermis, menghasilkan produk dengan
selektivitas yang rendah, serta korosif terhadap reaktor baja. Reaksi epoksidasi
dapat dikatalisis dengan logam transisi menggunakan sumber oksigen seperti
tersier butil hidrogenperoksida (TBHP). Katalis MoO2(acac)2 dilaporkan dapat
menghasilkan 54% epoksida pada 110 °C selama 2 jam. Namun, reaksi tersebut
masih menggunakan toluena sebagai pelarut sehingga pemisahan pelarut pasca
reaksi. Penelitian ini memaparkan penggunaan vanadium basa Schiff untuk reaksi
oksidasi. Fenoksiimina merupakan salah satu ligan basa Schiff. Sejauh
penelusuran
literatur,
penelitian
mengenai penggunaan vanadium(IV)
fenoksiimina sebagai katalis reaksi epoksidasi minyak sawit belum dilakukan oleh
kelompok peneliti lain. Penelitian ini mengevaluasi reaksi epoksidasi terkatalisis
vanadium(IV)-fenoksiimina tanpa menggunakan pelarut dan asam mineral.
Karakter elektron dari atom pusat vanadium dimodifikasi menggunakan gugus
nitro pada ligan fenoksiimina. Sintesis kompleks vanadil(IV)-fenoksiimina
dilakukan dengan mereaksikan vanadil sulfat dengan ligan fenoksiimina yang
menghasilkan padatan hijau. Kompleks dikarakterisasi menggunakan P-XRD,
MS, FTIR, dan MSB. Reaksi epoksidasi dijalankan dengan oksidator TBHP.
Hasil reaksi epoksidasi dianalisis menggunakan 1H-NMR. Uji aktivitas katalitik
menunjukkan bahwa kompleks VO(FI-1c)2 menghasilkan rendemen epoksida
paling tinggi, 57%, dibandingkan VO(FI-1a)2 dan VO(FI-1b)2 berturut-turut
54%, dan 16% pada kondisi 70 °C, 3 meq TBHP, 0,3% mol katalis, selama 7 jam.
Optimasi parameter reaksi untuk kompleks VO(FI-1c)2 menunjukkan bahwa epoksida 68% (TOF 76 jam?1) dihasilkan ketika reaksi berjalan pada 80 °C,
waktu reaksi 7 jam, 0,1% mol katalis, dan 3 meq TBHP. Studi kinetika pada suhu
60, 70, dan 80 °C menunjukkan bahwa reaksi epoksidasi terkatalisis vanadil(IV)
fenoksiimina mengikuti orde dua semu. Energi pengaktifan (Ea) sebesar 65 kJ/mol
teramati dari kajian kinetika reaksi dengan kompleks VO(FI-1c)2. Nilai entalpi,
entropi, dan energi bebas Gibbs pengaktifan pada suhu 80 °C diketahui sebesar 62
kJ/mol, ?83 J/mol K dan 92 kJ/mol. Reaksi tanpa katalis tidak menghasilkan
epoksida sehingga penggunaan katalis diperlukan dalam reaksi epoksidasi. Reaksi
epoksidasi diusulkan melalui mekanisme Sharpless. Kompleks VO(FI-1c)2
menghasilkan rendemen epoksida paling tinggi sehingga mungkin tahapan kunci
reaksi epoksidasi adalah tahap transfer elektron tunggal.