Selada (Lactuca sativa L.) adalah tanaman sayuran yang banyak dikonsumsi
sebagai pelengkap berbagai hidangan karena kandungan gizinya yang tinggi.
Selada sebagai produk sayuran dikenal memiliki kandungan serat kasar yang tinggi.
Makanan yang mengandung serat kasar tinggi umumnya memiliki kandungan
kalori, kadar gula, serta lemak yang rendah sehingga dapat mengurangi terjadinya
obesitas dan membantu menanggulangi penyakit diabetes. Namun, banyak studi
menunjukkan bahwa angka konsumsi serat di Indonesia masih rendah. Menurut
data riset kesehatan dasar yang dilakukan oleh Kementrian Kesehatan pada tahun
2018, sebanyak 95,4% masyarakat Indonesia dikategorikan kekurangan serat.
Rekomendasi kebutuhan serat untuk orang dewasa (19-29 tahun) adalah 25-30gr/
hari, sementara angka konsumsi rata-rata di Indonesia adalah 10,5 gr/hari. Untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat akan serat pangan, produksi sayuran dalam
negeri perlu ditingkatkan.
Di sisi lain, produksi pertanian Indonesia terus menyumbang limbah yang
tidak diolah dan termanfaatkan. Limbah biomassa organik dari pertanian,
kehutanan, dan sumber lainnya diestimasikan mencapai 200.000.000 ton/tahun,
yang setara dengan 236.712.328 Joule energi per tahunnya. Namun, hanya sekitar
0,64% dari limbah tersebut sudah dimanfaatkan. Salah satu alternatif pemanfaatan
limbah adalah produksi pupuk organik menggunakan cacing tanah melalui proses
vermicomposting untuk menghasilkan vermikompos. Penggunaan vermikompos
juga dapat mengurangi penggunaan pupuk kimia, menjadi solusi perbaikan lahan
kritis, alternatif pengolahan limbah yang rendah biaya & energi, serta menjadi
sumber nutrisi bagi tanaman.
Sistem produksi biomassa pada pra-rancangan dipilih berdasarkan hasil
penelitian Tugas Akhir 1 yaitu budidaya selada keriting (Lactuca sativa L.) pada
lahan terbuka dengan pemberian vermikompos. Berdasarkan hasil penelitian Tugas
Akhir 1, penggunaan vermikompos pada lahan budidaya selada mampu
menghasilkan produktivitas sebesar 19,23 ton/ha. Proses budidaya dilakukan
dengan menambahkan vermikompos sebanyak 7,5 gr/ tanaman pada pengolahan
lahan sebagai upaya perbaikan lahan sebelum masa tanam. Dosis kedua
vermikompos sebanyak 2,5 gr/ tanaman ditambahkan di tengah masa budidaya (21
HST) dimana tingkat penyerapan nitrogen sedang meningkat. Hasil penelitian
Tugas Akhir 1 menunjukkan kandungan serat terus meningkat hingga 35 HST,
kemudian menurun pada 42 HST yang disertai dengan munculnya rasa pahit pada
selada. Oleh karena itu, ditentukan masa panen pada rentang 32-38 HST untuk
memastikan produk selada memiliki kandungan serat yang tinggi serta memiliki
rasa yang tidak terlalu pahit.
Pada pra-rancangan ini, dipilih sistem produksi budidaya selada yang
terintegrasi dengan produksi vermikompos. Pra-rancangan sistem ini merupakan
scale up dari pilot scale penelitian sebelumnya (26 m2) menjadi full scale (340,4
m2). Skema lahan terdiri dari 3 plot, dengan masing masing plot berisi 4 subplot
seluas 4,7 m x 5,5 m yang ditanami 400 tanaman selada secara bergilir untuk
memastikan produksi dapat secara kontinu memenuhi kebutuhan pasar. Lokasi
usaha budidaya terletak di Haurngombong, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten
Sumedang, Jawa Barat. Lokasi tersebut berada pada titik koordinat S06°54’22.2”
E107°50’07.8” dengan ketinggian 893 mdpl. Total luas lokasi usaha adalah sebesar
636,4 m2 yang terdiri dari lahan budidaya, area produksi vermikompos, area parkir,
bangunan pengolahan pascapanen, bangunan kantor, bangunan gudang, dan
screenhouse pembibitan.
Pra-rancangan terdiri dari 4 subsistem, yaitu subsistem pengolahan lahan,
subsistem penyemaian, subsistem budidaya selada, dan subsistem produksi
vermikompos yang saling terintegrasi. Produksi vermikompos dilakukan untuk
memanfaatkan limbah dari sistem budidaya selada, sekaligus limbah dari hasil
pertanian dan peternakan sapi di sekitar lokasi budidaya. Neraca massa total pada
subsistem produksi vermikompos sebesar 135,42 kg/siklus produksi; dengan neraca
energi sebesar 922.831,86 kJ/siklus produksi. Pada subsistem pengolahan lahan,
neraca massa total sebesar 5.195,39 kg/siklus produksi dengan neraca energi total
sebesar 370.244,9 kJ/siklus produksi. Kemudian pada subsistem penyemaian,
neraca massa total sebesar 15,55 kg/siklus produksi; neraca energi total sebesar
12.284,24 kJ/siklus produksi. Lalu neraca massa total pada subsistem budidaya
selada adalah sebesar 12.596,65 kg/siklus produksi; dengan neraca energi total
sebesar 7.301.468,77 kJ/siklus produksi.
Untuk menjalankan pra-rancangan ini, dibutuhkan biaya investasi awal
sebesar Rp140.537.500,00 serta biaya operasional sebesar Rp108.923.521,86 pada
tahun pertama. Produk selada kemudian akan dijual dalam kemasan 250 gr,
sementara produk vermikompos dalam kemasan 5 kg. Produk selada dengan
kapasitas produksi 13.187 kemasan pada tahun pertama, selanjutnya akan dijual
dengan skema Business-to-Business (B2B) pada pasar supermarket dan skema
Business-to-Customer (B2C) yaitu melalui penjualan langsung pada lokasi
budidaya dan penjualan melalui marketplace online. Dari skema tersebut,
pendapatan dari penjualan produk selada adalah Rp147.465.750,00 pada tahun
pertama. Kemudian, penjualan produk vermikompos dengan kapasitas produksi
862 kemasan pada tahun pertama dilakukan menggunakan skema penjualan
langsung pada konsumen, sehingga diperoleh pendapatan tahun pertama sebesar
Rp20.795.750,00.
Pra-rancangan usaha budidaya selada yang diintegrasikan dengan produksi
vermikompos akan menerima keuntungan apabila tercapai Break Even Point (BEP)
multiproduk sebesar Rp523.355.163; dengan BEP selada supermarket sebesar
Rp294.616.552; selada yang dijual on-site sebesar Rp84.437.545; selada yang
dijual online sebesar Rp81.482.231; dan BEP vermikompos sebesar Rp62.818.835.
Melalui analisis kelayakan usaha, didapatkan nilai Net Present Value (NPV) yaitu
sebesar Rp149.207.246,66 dengan B/C ratio sebesar 2,062, dan Internal Rate of
Return (IRR) sebesar 32%. Kemudian, biaya investasi akan kembali dalam waktu
2 tahun. Berdasarkan analisis yang sudah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa prarancangan
sistem budidaya selada yang diintegrasikan dengan produksi
vermikompos layak dijalankan. Analisis sensitivitas menunjukkan bahwa usaha ini
tetap layak dijalankan ketika biaya investasi naik hingga 15%, biaya operasional
naik hingga 15%, dan apabila harga penjualan turun hingga 15%.