Tempat ketiga merupakan ruang berkumpul yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat perkotaan dengan cara mengakomodasi interaksi sosial untuk mengurangi tekanan dari tempat pertama (rumah) dan kedua (kantor). Karakteristik tempat ketiga antara lain adalah bernuansa rumah (home away from home), santai (playful), dan terbentuk secara alami oleh para pengunjung tetapnya (the regulars). Tempat ketiga adalah ruang netral di mana para pengguna lepas dari berbagai perbedaan status (leveler), sehingga interaksi sosial antar pengguna terjadi secara sukarela. Secara khusus, tempat ketiga memiliki karakteristik fisik berupa lokasi yang mudah diakses, fasilitas yang mengakomodasi percakapan, serta bentuk yang sederhana (low-profile). Dengan berbagai karakteristik tersebut, tempat ketiga mampu memberikan dampak positif bagi penggunanya pada skala individu dan komunitas. Misalnya, menghilangkan stres dari tekanan keseharian, pintu masuk ke sebuah komunitas baru, mempererat jejaring sosial yang sudah ada, dan juga sebagai kontrol sosial.
Namun demikian, pengembangan tempat ketiga belum melibatkan kelompok remaja secara menyeluruh. Pengembangan tempat ketiga masih menganggap masyarakat perkotaan sebagai satu entitas yang homogen, yaitu orang dewasa produktif. Padahal, masyarakat perkotaan terdiri dari banyak kelompok, di mana remaja merupakan kelompok yang krusial karena merupakan fase kunci perkembangan manusia yang menentukan kualitas orang dewasa di masyarakat masa depan. Beberapa penelitian yang mulai mengembangkan tempat ketiga berdasarkan kelompok usia baru mencakup usia anak dan lansia. Keberadaan remaja di rona publik seperti tempat ketiga masih berada di bawah bayang-bayang stigma negatif, sehingga penelitian tempat ketiga yang melibatkan kelompok remaja masih terbatas pada ruang virtual.
Disertasi ini bertujuan untuk menelaah bagaimana tempat ketiga remaja terbentuk melalui penelusuran kegiatan terhadap karakteristik fisik ruang. Dengan pendekatan kualitatif, 10 kafe Upnromal independen di Kota Bandung digunakan sebagai kasus studi. Upnormal adalah jenama kafe waralaba berskala nasional yang berasosiasi erat dengan kelompok remaja. Teknik observasi non-partisipan digunakan untuk menggali data karakteristik fisik gerai, sementara wawancara semi-terstruktur digunakan untuk mendapatkan data tentang pendekatan dalam penyediaan ruang oleh pengelola kafe dan motivasi penggunaan ruang oleh para pengunjung remaja. Seluruh data dianalisis secara kualitatif menggunakan teknik coding, yaitu abstraksi kategori dari penggalan data empiris untuk membentuk konsep-konsep melalui dua tahap. Tahap pertama adalah analisis terhadap elemen-elemen yang membentuk karaktersitik fisik gerai dalam kaitannya dengan penyediaan ruang, sedangkan tahap kedua adalah analisis penggunaan ruang dalam kaitannya dengan karakteristik fisik tersebut.
Dari penelusuran tersebut, disertasi ini mengungkap bahwa eksistensi tempat ketiga dalam konteks remaja melibatkan dimensi psikologis, sosial, dan ekonomi. Dari sisi dimensi psikologis, tempat ketiga remaja merupakan ruang di mana mereka bisa berinteraksi dengan teman sebaya secara leluasa dan mengekspresikan identitas diri. Dari sisi dimensi sosial, tempat ketiga remaja berkaitan dengan kesesuaian karakteristik ruang dengan koridor nilai dan norma di tempat pertama karena kehidupan remaja masih berada di bawah bayang-bayang keluarga. Tempat ketiga remaja juga merupakan perpanjangan dari tempat kedua karena banyaknya luapan tanggung jawab dan ekspektasi yang perlu mereka hadapi. Dari sisi dimensi ekonomi, pembentukan tempat ketiga remaja mengikutsertakan praktik komersialisasi yang mendorong adanya pencitraan ruang sehingga bentuk ruang menjadi tidak sederhana seperti tempat ketiga pada umumnya.