ABSTRAK Andika Permadi Putra
PUBLIC Irwan Sofiyan
COVER Andika Permadi Putra
Terbatas  Irwan Sofiyan
» Gedung UPT Perpustakaan
Terbatas  Irwan Sofiyan
» Gedung UPT Perpustakaan
BAB 1 Andika Permadi Putra
Terbatas  Irwan Sofiyan
» Gedung UPT Perpustakaan
Terbatas  Irwan Sofiyan
» Gedung UPT Perpustakaan
BAB 2 Andika Permadi Putra
Terbatas  Irwan Sofiyan
» Gedung UPT Perpustakaan
Terbatas  Irwan Sofiyan
» Gedung UPT Perpustakaan
BAB 3 Andika Permadi Putra
PUBLIC Irwan Sofiyan BAB 4 Andika Permadi Putra
PUBLIC Irwan Sofiyan
BAB 5 Andika Permadi Putra
Terbatas  Irwan Sofiyan
» Gedung UPT Perpustakaan
Terbatas  Irwan Sofiyan
» Gedung UPT Perpustakaan
PUSTAKA Andika Permadi Putra
PUBLIC Irwan Sofiyan LAMPIRAN Andika Permadi Putra
PUBLIC Irwan Sofiyan
Negara kepulauan memiliki kewenangan untuk menetapkan batas laut yang
mengacu pada garis pangkal yang telah ditentukan dalam United Nations
Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Representasi acuan batas
tersebut berupa titik dasar atau daftar koordinat geografis yang didepositkan ke
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Titik dasar didefinisikan sebagai setiap titik
yang terdapat pada garis pangkal normal. Dalam penentuannya, titik dasar harus
berada pada posisi pertemuan muka air pada saat surut terendah dengan topografi
pantai. Posisi titik dasar akan berubah jika terjadi perubahan pada topografi pantai
atau permukaan air laut terendah yang akan berimplikasi pada acuan penetapan
batas laut. Garis pantai berada di kawasan pesisir yang dipengaruhi oleh fenomenafenomena
fisis yang berasal dari laut, seperti arus, gelombang, atau intrusi air laut
serta yang berasal dari darat seperti sedimentasi. Wilayah pesisir juga dipengaruhi
oleh dampak pergerakan tektonik, seperti aktifitas sesar, gempa, dan tsunami yang
merubah topografi pantai sehingga berdampak pada perubahan garis pangkal
normal. Fenomena dinamika pantai penting untuk diamati karena berpotensi
merubah posisi garis pangkal normal yang secara langsung akan berpengaruh
terhadap acuan penetapan batas laut.
Pengamatan terhadap dinamika pantai dilakukan untuk memperhitungkan
pergerakan garis pantai secara temporal menggunakan metode Digital Shoreline
Analysis System (DSAS). Citra satelit digunakan sebagai data awal untuk
mendapatkan informasi mengenai garis pantai sesaat yang didapatkan
menggunakan metode Normalized Difference Water Index (NDWI). Posisi garis
pantai sesaat dikoreksi secara vertikal dan horizontal ke posisi garis air rendah.
Koreksi vertikal dilakukan dengan melakukan analisis pasang surut untuk
mendapatkan perbedaan posisi vertikal pada saat citra satelit diakuisisi dan pada
saat air dalam posisi surut. Koreksi horizontal dilakukan dengan menggunakan data
kemiringan pantai dengan menggunakan persamaan trigonometri, pergeseran
horizontal dapat dihitung. Metode Global Navigation Satellite System (GNSS)
digunakan untuk mengamati perubahan daratan dekat pantai yang disebabkan oleh
aktivitas tektonik. Implementasi dari kriteria penetapan garis pangkal lurus
dilakukan untuk segmen batas yang bersifat bilateral dengan menerapkan standar
ii
arah umum dengan metode linearisasi dan pengujian terhadap definisi melenceng
jauh dari arah umum garis pantai dilakukan menggunakan metode pengujian
statistik T-test. Penghitungan luas laut ditentukan dari acuan garis pangkal sampai
batas terluar yang telah didefinisikan dalam UNCLOS-82. Laut yang berbatasan
dengan negara lain ditentukan dengan mempertimbangkan jarak di antara garis
pangkal kedua negara sedangkan laut yang menghadap laut lepas bisa ditentukan
dengan batas luar optimal. Untuk mendapatkan hasil penghitungan yang optimal,
dilakukan optimisasi dengan algoritme pada Convex Hull dan Concave Hull.
Penggunaan algoritme ini memungkinkan dilakukannya sistem otomasi yang bisa
mengakomodasi banyak variabel dan batasan dalam merepresentasikan penentuan
batas laut di lapangan.
Hasil dari pengamatan dinamika pantai berkontribusi terhadap prediksi pergerakan
garis pantai secara temporal, baik yang terjadi secara perlahan atau pergerakan
signifikan yang menjadi salah satu pertimbangan dalam penetapan lokasi titik
dasar. Pemantauan dinamika di bagian pantai timur Pulau Weh menggunakan
DSAS menunjukkan adanya pergerakan perlahan ke arah Tenggara, dengan
penghitungan rata-rata pergerakan 3,8 m/tahun di segmen bagian Selatan dan -0,05
m/tahun di segmen bagian utara. Hal ini sejalan dengan hasil analisis menggunakan
Sistem Riedel yang menunjukkan pergerakan daratan pantai Pulau Weh bagian
timur pada arah 150° sebagai akibat dari aktivitas Sesar Seulawah. Hasil yang sama
juga didapatkan dari pengamatan dinamika pantai di Krui, daratan dekat pantai
mengalami pergeseran dengan arah yang sesuai terhadap pergeseran daratan yang
disebabkan oleh Sesar Kumering. Pergeseran sejauh 0,975 meter didapatkan pada
pengamatan GNSS di lokasi Titik Referensi 152. Sementara itu, pergeseran garis
pantai di Tanjung Toyolawa, Pulau Nias terjadi secara signifikan yang terjadi akibat
gempa yang menyebabkan fenomena uplift. Topografi pantai di Tanjung Toyolawa
berubah menjadi karang kering yang memiliki lebar 150 m.
Pengujian arah umum garis pantai menunjukkan korelasi antara penyimpangan
maksimal sebesar 20° dengan nilai P-Value 0,05 pada tingkat kepercayaan 95%,
menunjukkan nilai dua kumpulan data yang tidak berbeda signifikan. Nilai 20°
dijadikan standar minimum dalam mendefinisikan melenceng jauh dari arah umum
garis pantai. Dari pengujian yang dilakukan pada garis pantai Negara Jerman,
Norwegia, Kolombia, dan Thailand, jika P-Value memiliki nilai dibawah 0,05
memiliki nilai 1 untuk H dan perbedaan arah umum lebih besar dari 20°, kondisi
ini terjadi pada Negara Norwegia. Pengembangan yang dilakukan terhadap
algoritme Convex Hull dan Concave Hull memberikan hasil penempatan titik dasar
yang optimal sekaligus menghilangkan potensi kesalahan interpretasi yang
menyebabkan ketidaksesuaian dengan kriteria UNCLOS-82 dan memberikan
klaim luas laut yang optimal. Penggunaan ambang batas yang digunakan pada
Concave Hull berkorelasi positif dengan penambahan klaim luas laut, dan
berkorelasi negatif dengan kompleksitas konfigurasi kepulauan yang menunjukkan
pola konfigurasi umum kepulauan dengan nilai ambang batas yang semakin besar.
Hasil ini ditunjukan dengan penggunaan ambang batas pada Negara Maladewa
yang relatif besar dibandingkan dengan Negara Palau, Filipina, dan Indonesia. Dari
segi kompleksitas konfigurasi kepulauan, Negara Maladewa memiliki bentuk
sederhana, cenderung membulat. Kondisi sebaliknya terjadi pada negara Indonesia
yang memiliki konfigurasi kepulauan yang kompleks dan memiliki perbatasan
darat dengan negara lain. Kondisi demikian, membutuhkan ambang batas yang
lebih rendah supaya bisa memenuhi kriteria UNCLOS-82 terkait panjang
maksimum garis pangkal kepulauan.