digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Faried Jaendar Muda
PUBLIC Dewi Supryati

Industri pertahanan adalah institusi strategis bagi sebuah negara untuk menguasai dan mengembangkan teknologi pertahanan. Penguasaan dan pengembangan teknologi pertahanan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan alat peralatan pertahanan (alpalhan) yang akan dipakai dalam sistem pertahanan negara. Teknologi pertahanan memerlukan pengelolaan lebih kompleks dari teknologi pada umumnya karena digunakan secara terus menerus sampai penghapusan, bersifat rahasia, rentan terhadap pembatasan, dan memerlukan pembiayaan tinggi. Oleh karena itu, penguasaan dan pengembangan teknologi pertahanan membutuhkan manajemen teknologi yang melibatkan beberapa pemangku kepentingan dari berbagai bidang keilmuan. Guna menyatukan cara pandang para pemangku kepentingan dibutuhkan acuan agar terjalin komunikasi sehingga dapat memahami dan menyiapkan strategi sesuai bidang masing-masing. Salah satu acuan yang sudah banyak digunakan oleh negara dunia adalah Technology Readiness Level (TRL) yang mengklasifikasikan teknologi menjadi 9 tingkatan. Tingkatan yang lebih rendah menjadi landasan bagi tingkatan berikutnya. Definisi dan indikator TRL sederhana dan bersifat fleksibel sehingga pola kerjanya terus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan seperti Manufacturing Readiness Level (MRL), Integration Readiness Level (IRL), TRL calculator yang disusun oleh William Nolte (2003) dan dikenal dengan istilah Tingkat Kesiapan Teknologi (TKT). TKT mengelaborasi tiga aspek yaitu teknologi, manufaktur, dan integrasi. Ketiga aspek tersebut telah diimplementasikan untuk mengukur kemajuan penelitian di Indonesia berdasarkan Peraturan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Ristekdikti) nomor 42 tahun 2016. TKT terbagi menjadi tiga kategori yaitu layak desain, layak teknis atau layak terap. TKT Permenristekdikti 42/2016 kurang komprehensif untuk mengukur kesiapan teknologi pertahanan di Indonesia karena sebagian besar alpalhan yang digunakan pada sistem pertahanan di Indonesia merupakan produk industri pertahanan luar negeri yang diakusisi melalui pembelian. Penguasaan dan pengembangan teknologi pertahanan di Indonesia rata-rata dimulai dari kegiatan pasca produksi seperti pemeliharaan, modifikasi, dan modernisasi serta penghapusan. Ketersediaan suku cadang kritis dan keusangan merupakan tantangan utama kegiatan pasca produksi, ii sehingga pengukuran kesiapan teknologi sangat dibutuhkan sebelum dan sesudah kegiatan dilaksanakan. Selain aspek kesiapan teknologi, manufaktur, dan integrasi teknologi, aspek inovasi juga dibutuhkan. Kebutuhan aspek inovasi merupakan keterbaruan yang belum pernah dilakukan pada penelitian-penelitian sebelumnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelilitan untuk menyusun model TKT pertahanan mengacu pada TKT Permenristekdikti 42/2016 dan Permenhan tentang standarisasi komoditas militer serta Permenhan tentang kelaikan. Pengembangan diawali dengan kegiatan konfirmasi kebutuhan aspek inovasi dalam pengukuran teknologi pertahanan pasca produksi dan dilanjutkan dengan wawancara tentang definisi dan indikator masing-masing tingkatan guna menyusun Model Awal TKT bidang Pertahanan. Model awal TKT pertahanan kemudian diverifikasi melalui wawancara narasumber dari kalangan engineer/production/marketing industri pertahanan menggunakan studi kasus I. Model tersebut divalidasi menggunakan studi kasus II serta Focus Grup Discussion (FGD). Model TKT pertahanan yang dihasilkan terdiri dari identifikasi teknologi, penyusunan konsep teknologi, validasi konsep teknologi, validasi sub-sistem, validasi prototipe di lingkungan laboratorium, validasi prototipe di lingkungan relevan, demonstrasi teknologi di lingkungan operasi, penyempurnaan teknologi, teknologi teruji dan teknologi terbukti.