ABSTRAK Nigel Sylvastro Sacchie Lende
PUBLIC Resti Andriani BAB 1 Nigel Sylvastro Sacchie Lende
PUBLIC Resti Andriani BAB 2 Nigel Sylvastro Sacchie Lende
PUBLIC Resti Andriani BAB 3 Nigel Sylvastro Sacchie Lende
PUBLIC Resti Andriani BAB 4 Nigel Sylvastro Sacchie Lende
PUBLIC Resti Andriani BAB 5 Nigel Sylvastro Sacchie Lende
PUBLIC Resti Andriani PUSTAKA Nigel Sylvastro Sacchie Lende
PUBLIC Resti Andriani
Emas adalah salah satu logam berharga karena ketersediaannya terbatas dan
memiliki sifat-sifat spesial. Emas di alam dapat ditemukan sebagai mineral atau
pengotor yang terkandung dalam sulfida. Emas yang ditemukan saat ini umumnya
berada pada bijih kompleks di mana kandungan emas lebih sedikit dan sebagai
inklusi berukuran halus. Pengolahan bijih kompleks memerlukan penggerusan ke
ukuran yang sangat halus agar partikel emas dapat terbebas secara fisik dari partikel
lainnya sehingga kemudian dapat diekstraksi. Ukuran partikel halus akan efektif
diolah dengan metode basah sehingga tailing yang dihasilkan berupa slurry.
Kondisi tailing tersebut kurang aman dan memiliki risiko kemungkinan terjadinya
segregasi partikel sehingga tailing storage facilities (TSF) menjadi tidak stabil.
Partikel berukuran halus stabil dalam keadaan tersuspensi sehingga memerlukan
waktu yang sangat lama untuk dapat terpisah dari air secara alami. Proses
dewatering dapat mempersingkat waktu pemisahan sehingga menurunkan risiko
yang mungkin timbul dan dapat meningkatkan stabilitas dari. Peningkatan
kesadaran sosial dan juga keketatan peraturan pemerintah menjadikan perencanaan
pengelolaan tailing semakin penting. Oleh karena itu, penelitian ini yang
mendalami dan membahas mengenai proses dewatering dari slurry tailing dengan
berbagai jenis flokulan menjadi penting juga untuk dilakukan agar dapat menjadi
suatu referensi dalam tahapan perencanaan pengelolaan tailing.
Serangkaian percobaan telah dilakukan untuk mempelajari proses dewatering pada
slurry tailing pengolahan emas dari PT. Agincourt Resources dengan menggunakan
berbagai flokulan sebagai reagen yang diperoleh dari PT. SNF Florindo. Sampel
dipreparasi untuk karakterisasi dan pengujian yang dilakukan. Seleksi flokulan
dilakukan untuk memperoleh flokulan yang dapat memberikan performa flokulasi
terbaik dari flokulan jenis conventional flocculant, terpolymer flocculant maupun
acrylamide tertiary-butyl sulfonic acid flocculant. Seluruh flokulan terpilih
kemudian digunakan pada semua pengujian yang dilakukan yang terdiri atas
pouring test, drainage test, slump test dan settling test. Pouring test dilakukan untuk
mempelajari flokulasi sedangkan drainage test dan slump test mempelajari aplikasi
flokulasi pada proses filtrasi dan settling test mempelajari aplikasi flokulasi pada
proses sedimentasi dari slurry tailing.
Seleksi flokulan memberikan flokulan yang mampu membentuk floc berukuran
besar dengan menggunakan dosis rendah untuk kondisi 50% padatan yaitu Dryfloc
34 E dari jenis conventional flocculant pada 220 gram/ton, Dryfloc 5220 E dari
jenis terpolymer flocculant pada 140 gram/ton dan Dryfloc SU 25 E dari jenis
acrylamide tertiary-butyl sulfonic acid flocculant pada 120 gram/ton. Proses
flokulasi paling baik didapatkan dengan menggunakan Dryfloc SU 25 E pada
kondisi persen padatan dari sampel slurry tailing sebesar 40% serta dosis dari
flokulan sebanyak 120 gram/ton. Penggunaan Dryfloc 34 E dengan dosis 240
gram/ton pada kondisi persen padatan dari sampel slurry tailing sebesar 50%
memberikan proses filtrasi paling cepat. Sedangkan proses sedimentasi paling
singkat tercapai saat menambahkan Dryfloc dengan dosis sebanyak 160 gram/ton
5220 E pada kondisi persen padatan dari sampel slurry tailing sebesar 20%. Dosis
flokulan lebih tinggi dapat memberikan hasil dewatering yang lebih baik karena
terdapat lebih banyak lokasi untuk berikatan dan muatan untuk destabilisasi, tetapi
dosis berlebihan dapat menyebabkan terjadinya restabilisasi partikel padatan dalam
suspensi. Peningkatan persen padatan slurry tailing dapat menghasilkan proses
dewatering yang lebih baik karena interaksi flokulan lebih mudah terjadi, tetapi
persen padatan yang terlalu tinggi dapat memberikan hasil yang berlawanan akibat
pergeseran mekanisme pengendapan menjadi mengikuti mekanisme hindered
settling.