digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

HANIFAH NURAWALIAH.pdf
PUBLIC Open In Flip Book Lili Sawaludin Mulyadi

COVER_HANIFAH NURAWALIAH
PUBLIC Open In Flip Book Lili Sawaludin Mulyadi

BAB I_HANIFAH NURAWALIAH
PUBLIC Open In Flip Book Lili Sawaludin Mulyadi

BAB II_HANIFAH NURAWALIAH
PUBLIC Open In Flip Book Lili Sawaludin Mulyadi

BAB III_HANIFAH NURAWALIAH
PUBLIC Open In Flip Book Lili Sawaludin Mulyadi

BAB IV_HANIFAH NURAWALIAH
PUBLIC Open In Flip Book Lili Sawaludin Mulyadi

BAB V_HANIFAH NURAWALIAH
PUBLIC Open In Flip Book Lili Sawaludin Mulyadi

DAFTAR PUSTAKA_HANIFAH NURAWALIAH
PUBLIC Open In Flip Book Lili Sawaludin Mulyadi

Salah satu konsep kebijakan yang dapat diimplementasikan dalam pengelolaan sampah elektronik adalah Extended Producer Responsibility (EPR). Kebijakan ini memiliki arti bahwa adanya perluasan tanggung jawab produsen yang signifikan atas dampak lingkungan sepanjang siklus hidup produk, termasuk dampak dari hulu (pemilihan barang produk) hingga hilir (pembuangan produk). Studi EPR sampah elektronik dilakukan di kota Bandung sebagai kota yang pertama kali dilakukan studi timbulan sampah elektronik di Indonesia. Pengelolaan sampah elektronik di kota Bandung akan menjadi fokus perhatian pemerintah daerah karena komposisinya yang cukup besar, sekitar 9% dari total timbulan limbah B3 Rumah Tangga. Penelitian ini menganalisis faktor yang berpengaruh terhadap EPR sampah elektronik dengan menggunakan Analytic Network Process (ANP) dan uji regresi linier berganda. ANP digunakan untuk menentukan prioritas dari instrumen kebijakan EPR dengan responden berupa para ahli di bidang pengelolaan sampah dan EPR. Sementara itu, uji regresi linier berganda digunakan untuk menentukan pengaruh faktor-faktor dari perspektif stakeholder terhadap rencana penerapan EPR sampah elektronik di kota Bandung. Hasil penelitian dengan menggunakan ANP menunjukkan bahwa instrumen administratif dan ekonomi merupakan dua faktor prioritas dalam pelaksanaan EPR sampah elektronik dengan bobot atau tingkat persetujuan 0,37 untuk instrumen administratif dan 0,36 untuk instrumen ekonomi. Hasil ini relevan dengan penelitian Zheng dkk. (2017) bahwa faktor peraturan dan hukum menjadi faktor penting dalam mekanisme EPR. Prioritas selanjutnya adalah instrumen informatif dengan bobot sebesar 0,27. Dalam instrumen administratif, aspek pengumpulan (0,387) menjadi faktor yang paling prioritas dari faktor lainnya. Sementara itu, prioritas faktor dalam instrumen ekonomi adalah subsidi pengembangan produk (0,27) dan prioritas faktor dalam instrumen informasi adalah sosialisasi kepada produsen (0,33). Seluruh responden sepakat bahwa kota Bandung perlu melibatkan Organisasi Pengelola Dana dalam mekanisme EPR sampah elektronik dengan bobot persetujuan 0,34. Sementara itu, hasil uji analisis regresi linier berganda menujukkan beberapa faktor-faktor yang signifikan untuk setiap responden yang difokuskan pada konsumen, pengecer, dan sektor informal. Dari analisis prioritas tersebut, dibuat strategi bahwa perlunya integrasi aspek aspek pengelolaan sampah mulai dari sisi regulasi, kelembagaan, teknis operasional, pembiayaan, dan partisipasi masyarakat. Penelitian ini mengusulkan skema EPR sampah elektronik di kota Bandung bahwa biaya EPR bersumber dari konsumen produk elektronik melalui harga jual produk yang dinaikkan berdasarkan fungsi penjualan. Insentif terhadap Design for Environment (DfE) sangat direkomendasikan dalam skema EPR karena akan memotivasi produsen untuk melakukan inovasi pada produk agar ramah lingkungan, minim penggunaan bahan berbahaya dan beracun, serta mudah untuk diproses selanjutnya. Pengumpulan sampah elektronik di kota Bandung dapat dilakukan melalui sektor pengumpul yang berizin seperti pengecer, Bank Sampah, jasa servis/sektor informal, startup pengelolaan sampah, sektor swasta, maupun Dinas Lingkungan Hidup kota Bandung. Sektor informal masih dilibatkan dalam sistem EPR di kota Bandung karena perannya yang signifikan dalam pengelolaan sampah elektronik hingga saat ini. Pendekatan Informal Sector Integration perlu diuji coba di kota Bandung untuk membangun aktivitas daur ulang informal yang bermitra dengan industri formal. Dalam hal ini, Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bandung dapat memberikan pelatihan dan bimbingan teknis terkait pengumpulan sampah elektronik yang baik dan benar. Terkait dengan dana EPR, dana dari produsen elektronik secara terpusat dikelola oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup untuk kemudian disalurkan ke pihak-pihak yang dapat mengklaim subsidi dana EPR seperti pengumpul dan pemroses sampah elektronik, termasuk Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) kota Bandung. Di dalam skema tersebut, diuraikan peran masing-masing stakeholder. Skema EPR yang diusulkan bersifat fleksibel dan perlu diuji coba untuk kemudian dievaluasi secara berkala.