digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK:REKAYASA tidak selalu berkonotasi negatif. Untuk sebuah tempat pembuangan akhir sampah, rekayasa bisa menjadi amat penting. Tanpa rekayasa, manusia bisa kena bencana, seperti longsor yang merenggut lebih dari 100 jiwa di Tempat Pembuangan Akhir Sampah Leuwigajah pada 21 Februari 2005.Enri Damanhuri dan Ria Ismaria, peneliti dari Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Bandung (ITB), mengumpulkan beberapa kejadian, termasuk yang pernah terjadi di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Leuwigajah.Menurut Enri, yang juga peneliti di Bandung Urban Development Project, saat mengevaluasi geoteknik dan hidrologi di TPA Leuwigajah (987), diketahui bahwa jenis batuan di daerah TPA adalah batuan andesit yang kedap air.Akan tetapi, ditemukan mata air yang sering berpindah-pindah. Mata air ini hanya muncul saat musim hujan. Oleh karenanya direkomendasikan untuk dilakukan rekayasa under drainage dengan membuat pipa evakuasi air. TPA Leuwigajah dioperasikan pada 13 Januari 1987.Menurut Ratno Sadinata, Kepala Subbidang Sarana dan Prasarana Teknologi Lingkungan, Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Jawa Barat, awalnya pengelolaan sampah di TPA itu menggunakan sistem sanitary landfill. Sanitary landfill adalah pengelolaan sampah yang paling mudah dan murah dengan cara menumpuk sampah pada sebuah lubang lalu menutupnya dengan liner atau tanah lempung yang dipadatkan setiap hari..........