Propagasi Madden Julian Oscillation (MJO) memengaruhi terjadinya curah hujan ekstrem yang mampu memicu terjadinya banjir. Namun, kajian mengenai peningkatan curah hujan ekstrem dan dampaknya terhadap peningkatan luasan banjir belum banyak dikaji. Selain itu, penggambaran potensi banjir akibat MJO secara efisien pada wilayah yang luas dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan empirik. Salah satu metode empirikal yang ada saat ini yaitu Geomorphology Flood Index (GFI). Perhitungan GFI dimodifikasi dengan memasukkan data curah hujan untuk mengestimasi luas genangan banjir saat terjadi MJO.
Penelitian ini mengusulkan indeks hujan ekstrem IP-A yang digunakan sebagai masukan kedalam GFI Modifikasi untuk mengestimasi daerah rawan banjir pada saat terjadi MJO. IP-A dihitung berdasarkan curah hujan maksimum harian (RX1) pada setiap kasus, curah hujan dengan periode ulang 5 (P5) dan 100 tahun (P100). Data Global Precipitation Measurement (GPM) digunakan dalam kajian ini untuk menghitung RX1, P5 dan P100 secara spasial. Tiga kasus MJO kuat dipilih untuk menerapkan GFI Modifikasi berdasarkan data Real-time Multivativariate MJO Index (RMMI) dan kejadian banjir BNPB.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga kejadian MJO kuat menghasilkan pola hujan ekstrem dan daerah rawan banjir yang berbeda-beda. Pada kejadian MJO Maret 2005 dan Desember 2018, hujan ekstrem cenderung tersebang masing masing di sekitar Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatera. Sedangkan kejadian MJO Februari 2020, hujan ekstrem terjadi secara merata di wilayah Indonesia bagian barat. Dampaknya kejadian MJO Maret 2005, Oktober 2018, dan Februari 2020 berpotensi memicu banjir masing-masing seluas 219,8 juta km2, 4,2 juta km2, dan 17,3 juta km2. Hasil penelitian ini berpotensi untuk mengestimasi secara cepat potensi banjir diwilayah yang luas pada saat terjadi MJO.