Abstrak:
Dalam penelitian ini pola konveksi diurnal di Pulau Sumatra ditelaah dengan menggunakan data pengamatan satelit geostationer (GMS 5, GOES 9 dan MT-SAT) pada kanal inframerah (IR1) dan model prediksi cuaca numerik. Model numerik yang dipakai adalah Weather Research and Forecasting-Advanced Research WRF (WRF-ARW) yang dikembangkan oleh Mesoscale and Microscale Meteorology Division dari National Center for Atmospheric Research, yang merupakan model Euler nonhidrostatik, dan menggukanan set persamaan yang sepenuhnya kompresibel. Syarat awal dan syarat batas untuk simulasi didapatkan dari data Global Tropospheric Analysis yang dikeluarkan oleh NCEP.
Analisis data satelit meninjau empat periode dengan skala konveksi berbeda di atas Pulau Sumatra yang diidentifikasi berdasarkan data Outgoing Longwave Radiation (OLR). Analisis komposit data temperatur puncak awan (yang diturunkan dari citra IR1) dari tahun 2002-2006 menunjukkan adanya pergeseran puncak konveksi diurnal baik secara temporal maupun spasial untuk tiap-tiap skala konveksi, khususnya fase puncak konveksi darat. Pergeseran ini juga menunjukkan adanya peran penting pulau-pulau kecil yang ada disepanjang bagian barat Pulau Sumatra. Distribusi spasial dari konveksi diurnal menunjukkan secara jelas perbedaan kemunculan fase puncak konveksi diurnal di sepanjang Pulau Sumatra dari hari ke hari.
Simulasi dengan model numerik dilakukan untuk menelaah pola konveksi diurnal pada beberapa hari di bulan November 2006 yang mewakili periode dengan konveksi skala besar. Uji konsistensi luaran model dilakukan untuk memilih kombinasi parameterisasi yang dianggap paling baik untuk studi kasus ini. Dari beberapa percobaan didapatkan bahwa kombinasi parameterisasi yang melibatkan parameterisasi mikrofisika YSU dan parameterisasi lapisan batas planeter MRF. memberikan hasil paling baik, yang kemudian digunakan di dalam simulasi kasus. Hasilnya menunjukkan bahwa model berhasil mensimulasikan puncak fase konveksi diurnal di darat yang diindikasikan oleh nilai koefisien korelasi temperatur puncak awan di atas 0,6. Namun demikian, fase konveksi di laut belum dapat disimulasikan dengan baik. Telaah lebih lanjut juga menunjukkan bahwa ketersediaan data (radiosonde) lokal cukup mempengaruhi kinerja model. Hal ini menunjukkan bahwa model telah mampu memperhitungkan efek topografi Pulau Sumatra yang kompleks tetapi diperlukan kajian lebih lanjut untuk mengatasi kelemahan model dalam mensimulasikan fase konveksi di laut.