digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Abstrak: Banjir di daerah perkotaan memiliki karakteristik yang berbeda dengan banjir pada lahan/alamiah. Pada kondisi di alam, air hujan yang turun ke tanah akan mengalir sesuai dengan kontur tanah yang ada ke arah lebih rendah. Di daerah perkotaan dimana kondisi penutup lahan pada umumnya adalah beton atau aspal, nilai infiltrasi akan sangat kecil. Demikian juga halnya dengan nilai transpirasi. Minimnya jumlah tanaman di daerah perkotaan menyebabkan nilai transpirasi sangat kecil. Evaporasi sendiri nilainya sangat kecil. Oleh karena itu, nilai infiltrasi, transpirasi, dan evaporasi pada daerah perkotaan dapat diabaikan. Umumnya air hujan yang turun akan dialirkan masuk ke dalam saluran saluran buatan yang mengalirkan air masuk ke sungai. Kontur lahan yang terdapat di daerah perkotaan direncanakan dan didesain agar air hujan yang turun akan mengalir ke dalam saluran saluran buatan tadi. Ada kalanya, kapasitas saluran tersebut tidak mencukupi untuk menampung air hujan yang terjadi, sehingga mengakibatkan terjadinya banjir. Pada kota-kota yang dilintasi oleh sungai-sungai besar, seringkali air meluap akibat besarnya debit dari hulu dan menyebabkan terjadinya banjir . Kasus-kasus banjir besar di daerah perkotaan memiliki beberapa masalah yang perlu ditelaah lebih lanjut. Arah aliran yang terjadi tidak lagi sepenuhnya bergantung pada kondisi topografi lahan, karena adanya bangunan-bangunan yang menghalangi arah aliran. Aliran yang terjadi berubah arah karena membentur bangunan. Pemodelan bangunan pada kasus banjir perkotaan ini merupakan suatu tantangan tersendiri dalam pemodelan banjir. Pemodelan dilakukan dengan menggunakan persamaan pengatur St. Venant 2 Dimensi yang diselesaikan dengan metode beda hingga Mac Cormack. Faktor-faktor yang mempengaruhi aliran adalah penutup lahan dan kemiringan lahan/kontur. Aliran permukaan yang terjadi disebabkan oleh hujan maupun debit dari hulu. Hujan dimasukkan sebagai lateral discharge pada persamaan kontunuitas sedangkan debit dari hulu dimasukkan sebagai syarat batas pada titik-titik grid sungai. Bangunan dimodelkan sebagai kontur (elevasi bangunan) dan memberikan nilai kekasaran manning 0.1. Bentuk model bangunan ini dipilih agar dapat memodelkan aliran akibat hujan yang terjadi di atas bangunan. Nilai koefisien manning untuk lahan diambil 0.05 sedangkan untuk sungai diambil sebesar 0.04. Kondisi kering basah pada model diberikan dengan menetapkan kedalaman minimum aliran. Simulasi model untuk kasus banjir akibat dam break dengan adanya bangunan di depan bendung memberikan komparasi yang baik dengan data eksperimen. Keterbatasan model 2 dimensi yang digunakan menyebabkan kondisi awal elevasi muka air di hulu dan di hilir pada bendung tidak dapat termodelkan dengan baik. Letak dan bentuk bangunan tidak tegak lurus bendung. Hal ini menyebabkan model cenderung tidak stabil. Model numerik lain yang dikembangkan dengan metode finite volume. Untuk melihat perilaku model jika diberikan banjir akibat debit dari hulu, model disimulasikan untuk suatu saluran lebar dengan kemiringan dasar tertentu yang kondisi awalnya kosong. Saluran diberi debit dari hulu. Komparasi dilakukan dengan metode routing kimematik. Hasil pemodelan menunjukkan komparasi yang baik. Akan tetapi volume keluar yang lebih sedikit dibandingkan volume saat masuk. Pada kasus banjir akibat hujan, model disimulasikan untuk kasus hujan pada lahan dengan saluran di tengahnya. Kemiringan lahan dan saluran diatur sehingga air hanya dapat mengalir keluar dari sungai. Hidrograf di titik keluar sungai memberikan komparasi yang baik dengan perhitungan hidrograf sintetik metode Nakayasu maupun Rasional. Pemodelan pada banjir dari suatu daerah perkotaan akibat banjir dari hulu, hujan dan gabungan keduanya memberikan pola aliran yang umum diketahui. Sebagai studi kasus, model disimulasikan pada DAS Batang Kuranji, Padang. DAS ini dipilih karena data yang tersedia cukup lengkap, sehingga model dapat diverifikasi. Aliran permukaan yang terjadi diakibatkan oleh hujan saja. Hujan diberikan sesuai dengan data pengukuran curah hujan dan hasil model dibandingkan dengan data debit pengukuran yang terjadi akibat hujan tersebut. Hidrograf di outlet sungai menunjukkan komparasi yang baik dengan pengukuran debit di lapangan.