digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

COVER Fallery
PUBLIC Roosalina Vanina Viyazza

BAB 1 Fallery
PUBLIC Roosalina Vanina Viyazza

BAB 2 Fallery
PUBLIC Roosalina Vanina Viyazza

BAB 3 Fallery
PUBLIC Roosalina Vanina Viyazza

BAB 4 Fallery
PUBLIC Roosalina Vanina Viyazza

PUSTAKA Fallery
PUBLIC Roosalina Vanina Viyazza

Tumbuhnya kesadaran lingkungan menghasilkan inisiatif global yang mendorong pemanfaatan sumber energi bersih atau energi terbarukan. Tidak hanya banyak pemerintahan tetapi juga banyak perusahaan global yang menetapkan sikap untuk melakukan transformasi energi dengan menggunakan energi terbarukan untuk memasok kebutuhan listrik mereka. Perusahaan-perusahaan tersebut menargetkan untuk mencapai netralitas karbon pada tahun tertentu, sehingga dunia termasuk di Indonesia mengalami pergerakan besar-besaran pemanfaatan pembangkit listrik energi terbarukan. Banyak perusahaan yang cenderung melakukan merger dan akuisisi (M&A) untuk mencapai target karbon netral karena perusahaan-perusahaan tersebut tidak memiliki kemampuan teknis atau komersial untuk mengembangkan pembangkit listrik energi terbarukan sendiri. Di Indonesia, panel surya atap merupakan salah satu sektor yang paling menjanjikan dilihat dari biaya investasi yang kompetitif, lebih murah, dan waktu implementasi yang lebih cepat, dan surya memiliki sumber daya yang cukup banyak di dalam negeri. Sektor panel surya atap ini menjadi lebih menarik karena sektor ini diatur oleh Pemerintah, dan Pemerintah menunjukkan dukungannya dengan mengeluarkan Permen ESDM no 26/2021. Tidak hanya Pemerintah Indonesia tetapi juga banyak perusahaan yang menekuni bisnis panel surya atap. Dan, M&A dianggap sebagai cara yang efisien dan tercepat bagi perusahaan untuk memasuki bisnis RTS di Indonesia. Dalam konteks aktivitas M&A, pembeli dan penjual seringkali mengalami nilai transaksi yang tidak cocok untuk mencapai kesepakatan dari suatu perusahaan. Apalagi nilai perusahaan startup tidak memiliki rekam jejak sejarah yang panjang karena bisnisnya tergolong baru. Dalam beberapa kesempatan, terjadi ketidaksesuaian yang signifikan mengenai nilai perusahaan dari sudut pandang pembeli dan penjual. Dengan pertimbangan tersebut, masalah bisnis ini adalah untuk menentukan nilai pasar wajar dari perusahaan yang akan dijual. Metode valuasi DCF diterapkan untuk mencari nilai wajar perusahaan dimana metode penilaian ini dianggap sebagai praktik umum untuk menentukan nilai perusahaan. Sehingga dapat diasumsikan jika negosiasi antara penjual dan pembeli akan lebih lancar daripada menggunakan metode valuasi lainnya. Namun, perlu dicatat bahwa metoda valuasi DCF sangat bergantung pada asumsi analis. Hasilnya, valuasi menggunakan metode DCF ini mengungkapkan bahwa nilai perusahaan Alpha Co. yang wajar adalah USD 12.47 juta dengan menggunakan WACC sebesar 10,74% dan 10,76% masing-masing pada tahun 2021 dan setelah tahun 2021. Nilai WACC berbeda dikarenakan oleh penerapan PPh perusahaan yang berbeda pada tahun 2021 (22%) dan setelah tahun 2021 (20%). Selain itu, analisis sensitivitas mengungkapkan bahwa beberapa komponen atau asumsi memiliki pengaruh signifikan dimana faktor yang paling sensitif adalah ekuitas. Perubahan 25% dari biaya ekuitas dapat mengakibatkan penyimpangan sebesar USD 8.34 juta dari nilai perusahaan yang dihitung semula atau 66.88% lebih dari nilai perusahaan. Temuan ini membuktikan bahwa DCF sangat bergantung pada asumsinya.