digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Resume: Peningkatan yang cepat dari kesenjangan antara produksi dengan kebutuhan kelapa beberapa dekade terakhir membuat pemerintah melakukan berbagai usaha untuk mengatasinya mengingat kelapa merupakan salah satu tanaman sosial serta komoditas ekspor yang potensial. Dengan semakin menyempitnya lahan pertanian dan perkebuanan mendorong diusahakannya lahan gambut agar dapat ditanami tanaman produksi. Lahan gambut dapat dimanfaatkan sebagai lahan perkebunan dengan pengaturan permukaan air tanah di lahan dengan menggunakan jaringan drainase yang dapat mengatur muka air tanah agar berada di bawah zona perakaran. Pada tugas akhir ini kami merencanakan sistem jaringan drainase untuk lahan rawagambut di Wilayah Kateman Guntung, Kabupaten Indragiri Hilir, Propinsi Riau seluas 12.000 Ha. Secara geografis terletak antara 103 derajat 10 103 derajat 17 Bujur Timur (BT) dan 00 derajat 21 00 derajat 30 Lintang Utara (LU). Lahan calon Perkebunan 12.000 Ha memiliki batas-batas sebagai berikut: 1.Sebelah Utara : Daratan dan udik sungai Danai 2.Sebelah Selatan : Sungai Guntung 3.Sebelah Barat : Daratan dan udik anak sungai Kateman 4.Sebelah Timur : Kanal kolektor dari perkebunan PT. RSTM Wilayah Kateman-Guntung, Kabupaten Indragiri Hilir, Propinsi Riau termasuk rawa kategori II dan III yang sebagian besar tidak terpengaruh pasang surut air laut dan sungai dengan kedalaman muka air tanah rata-rata 0.5 m. Pada lokasi studi, sebagian besar lahan merupakan lapisan tanah gambut Fibrik dengan harga koefisien permeabilitas K rata-rata 47.8 m/hari dengan kedalaman lebih dari 2 m. Data hujan mengenai lokasi studi diperoleh dari empat stasiun hujan yang berdekatan yaitu stasiun hujan rengat, tembilahan, tanjung balai, dan siak sri indrapura. Data hujan bulanan yang digunakan berdasarkan tahun 1990 sampai 2005, sedangkan data hujan harian diperoleh data selama 5 harian berurutan. Data data yang klimatologi diperoleh dari stasiun rengat yaitu berupa data temperatur, kelembaban relatif, penyinaran matahari, dan kecepatan angin. Data data hujan bulanan yang diperoleh ternyata data hujan yang tidak lengkap. Oleh karena itu untuk melengkapi data hujan tersebut penulis menggunakan metode rata-rata aljabar berdasarkan data hujan dari stasiun lainnya. Sementara itu data hujan harian diolah dengan beberapa metoda analisa frekuensi seperti metode Gumbel, Log Pearson tipe dan Log Normal. Data hujan yang diperoleh harus di tes terlebih dahulu dengan tes homogenitas, hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah data hujan tersebut dapat mewakili lokasi studi. Dari hasil tes berdasarkan periode hujan 10 tahunan diperoleh bahwa hasil plot semua stasiun, hujan berada di dalam lengkung pengontrol, berarti seluruh stasiun tersebut dikatakan homogen. Untuk perhitungan penetapan modul drainase penulis mengambil nilai hujan harian maksimum 3 harian berurutan dengan periode ulang 10 tahun menurut metode Log Pearson tipe III. Untuk klasifikasi iklim diperoleh berdasarkan 3 metode yaitu metode Koppen, Schmidt-Ferguson, dan Oldeman. Karena curah hujan cukup tinggi dengan lebih besar dari 200 mm pada bulan basah dan lebih besar dari 100 mm pada bulan kering. Oleh karena itu dapat diklasifikasikan sebagai tipe iklim Af yaitu iklim hujan tropis atau basah sepanjang tahun (Koppen), iklim tipe A yaitu sangat basah (Schmidt dan Ferguson), iklim kelas B1 yaitu 7 sampai 9 bulan berturut turut bulan basah dan kurang dari 2 bulan kering (Oldeman). Besarnya nilai hujan efektif bulanan digunakan untuk analisa neraca air bulanan di lokasi studi dengan memperhitungkan berbagai komponen aliran termasuk evapotranspirasi. Untuk menghitung evapotranspirasi potensial, penulis mggunakan metode Thornthwaite, Blaney-Cridlde, dan Penman Modifikasi. Dari ketiga metode tersebut, semuanya menghasilkan nilai Eto = 4 mm/hari. Besarnya modul drainase dihitung dengan mengambil curah hujan maksimum 3 harian berurutan untuk periode ulang 10 tahunan yang harus dapat dialirkan selama 3 hari. Besar hujan harian maksimum 3 harian = 202 mm, dengan menganggap bahwa penguapan = 50% x evapotranspirasi = 2 mm/hari. Jadi untuk 3 harian berurutan, penguapan = 6 mm/hari. Maka diperoleh besarnya debit per ha adalah q = 8 l/det/ha. Dari hasil perhitungan modul drainase, penulis dapat menghitung dimensi saluran tersier yang direncanakan berdasarkan untuk kebutuhan pembuangan air. Maka diperoleh tinggi muka air 55 cm, tinggi jagaan 100 cm. Sehingga dimensi saluran tersier berupa lebar 60 cm dan kedalaman saluran 155 cm. Sedangkan untuk drain spacing saluran tersier diambil 85 m berdasarkan perhitungan metode Hooghoudt dan metode Ernst. Untuk saluran sekunder, direncanakan berdasarkan kebutuhan navigasi transportasi. Lebar perahu yang akan digunakan adalah 3 m, sehingga diperoleh dimensi saluran dengan lebar 4 m dengan kedalaman saluran 2,5 m. Pada lokasi studi, drain spacing saluran sekunder diambil 500 m. Sedangkan untuk saluran primer juga direncanakan untuk kebutuhan transportasi dengan 3 perahu dapat saling berpapasan, sehingga diperoleh dimensi saluran dengan lebar dasar 10 m, tinggi 5,5 m dengan kemiringan talud 1 : 1. Dengan hasil perhitungan drain spacing untuk saluran tersier yang juga sekaligus berfungsi sebagai pembatas kepemilikan lahan, maka diperoleh luas petak tersier sebesar 2 ha. Hal ini sesuai dengan program Departemen Transmigrasi untuk Perkebunan Inti Rakyat Transmigrasi, dimana setiap kepala keluarga memperoleh bagian 2 petak perkebunan. Untuk mengatur muka air tanah agar tetap berada di bawah zona akar, maka direncanakan sistem jaringan tata air untuk mendistribusikan air dari lahan menuju sungai terdekat. Sistem Jaringan Tata Air terdiri dari badan saluran, bangunan air seperti stop-log serta bangunan struktur pendukung lain. Dengan adanya Sistem Jaringan Tata Air ini diharapkan muka air tanah dapat diatur sehingga dapat mencapai kedalaman 70-100 cm dibawah muka tanah. Namun penurunan tinggi muka air yang berlebihan pada lahan rawa gambut akan menyebabkan rusaknya lahan tersebut, sehingga diperlukan bangunan air yang berfungsi untuk menjaga tinggi muka air di saluran.