Terpenuhinya kebutuhan pangan merupakan syarat ketahanan pangan yang terdiri dari
berbagai aspek seperti mencukupi secara kuantitas, memiliki kualitas yang baik, gizi yang
mencukupi, tidak bertentangan dengan kaidah agama dan budaya setempat, serta tersebar merata
dengan harga yang terjangkau (Suryana, 2014). Peningkatan kebutuhan produksi bahan pangan
akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya laju pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan
jumlah penduduk di Indonesia diproyeksikan akan mencapai 311,6-319,0 juta jiwa pada tahun
2045. Pertumbuhan penduduk juga berpengaruh terhadap kenaikan jumlah konsumsi sayur dari
57,79 kg/kapita/tahun pada tahun 2020 menjadi 58,35 kg/kapita/tahun pada tahun 2024 (Badan
Ketahanan Pangan, 2019). Apabila kebutuhan ini tidak dapat terpenuhi, maka akan terancam
terjadinya terjadinya kerawanan pangan di berbagai daerah. Menurut Ariningsing dan Rachman
(2008), kerawanan pangan adalah kondisi tidak tercapainya ketahanan pangan di tingkat wilayah
maupun rumah tangga/individu. Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Kementerian
Pertanian mencatat 100 kabupaten dari 394 kabupaten di Indonesia berpotensi mengalami rawan
pangan akibat memiliki kebutuhan pangan yang tinggi namun memiliki masalah terkait dukungan
penanaman tanaman pangan atau rendahnya aksesibilitas masyarakat terhadap pangan.
Kebutuhan pangan dapat terpenuhi salah satunya melalui pemenuhan kebutuhan protein
dan sayuran. Salah satu sumber protein yang sangat diminati oleh masyarakat Indonesia adalah
ayam pedaging atau ayam broiler. Konsumsi ayam broiler perkapita pertahun pada tahun 2020
mencapai 12.29 kilogram dan diproyeksikan akan meningkat hingga 13.09 kilogram pada tahun
2022. Hal ini diakibatkan oleh preferensi masyarakat dan juga keterjangkauan harga dari ayam
broiler dibandingkan dengan komoditas sumber protein lainnya seperti daging sapi (BPPP
Kemendag, 2020). Salah satu kendala dalam budidaya ayam broiler yaitu tingginya biaya produksi
untuk pakan, yang dapat mengambil sekitar 60-70% biaya produksi budidaya keseluruhan
(Anggitasari, 2016). Tingginya biaya pakan diakibatkan oleh bahan penyusunnya yang juga
dikonsumsi oleh manusia sehingga menjadikan harga pakan cukup tinggi (Veldkamp et al., 2012).
Meningkatnya permintaan protein di pasaran, baik untuk konsumsi manusia maupun pakan ternak
juga menyebabkan meningkatnya harga bahan penyusun pakan (FAO, 2013). Black Soldier Fly
(BSF) merupakan salah satu insekta yang banyak diteliti sebagai salah satu alternatif pakan dan
agen biokonversi. Dari aspek kandungan, protein yang terkandung pada larva BSF dapat mencapai
40% s.d. 50% serta lemak yang berkisar dari 29% s.d. 32% (Bosch et al., 2014). Selain itu, BSF
juga telah diuji keamanannya dari kontaminan kimia sehingga relatif aman apabila digunakan
sebagai alternatif pakan (Charlton et al., 2015). BSF juga memiliki nilai tambah mampu
mengkonversi limbah organik termasuk kotoran ayam yang dapat mencemari lingkungan menjadi
produk pupuk yang bernilai ekonomis (Li et al., 2011). Selama budidaya, ayam akan menghasilkan
limbah berupa kotoran. Kotoran ayam ini kemudian dapat dikelola sebagai pupuk oleh agen
biokonversi seperti BSF dan dimanfaatkan sebagai sumber nutrisi bagi untuk budidaya tanaman,
termasuk tanaman sayuran. Salah satu tanaman sayuran yang diminati dan memiliki permintaan yang cukup tinggi ialah tanaman selada (Lactuca sativa). Selada umumnya dikonsumsi mentah sebagai lalapan atau salad, serta campuran makanan seperti hamburger dan hotdog. Selain itu, dapat digunakan sebagai
obat penyakit panas dalam dan melancarkan pencernaan. Permintaan selada di Indonesia semakin
meningkat seiring dengan kesadaran masyarakat yang tinggi terhadap pola hidup yang sehat.
Selada memiliki kandungan air yang tinggi, sumber mineral, vitamin A, vitamin C, dan tinggi serat
(Ainina dan Aini, 2018). Produksi selada di Indonesia meningkat yaitu 1.565.787 kg pada tahun
2018 menjadi 1.800.674 kg pada tahun 2019. Namun, hasil produksi tersebut belum dapat
memenuhi kebutuhan selada dalam negeri sehingga dilakukan impor tanaman selada. Jumlah
impor selada meningkat dari tahun 2018 hingga 2019 sebesar 48.085 kg pada 2018 dan 58.111 kg
pada 2019 (Badan Pusat Statistik, 2019). Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk meningkatkan
produksi sel ada agar kebutuhannya terpenuhi.
Pra-rancangan sistem menghasilkan empat produk berupa ayam broiler, selada, pupuk
kasgot, dan pupuk kompos dengan kapasitas produksinya masing-masing sebesar 86400 ekor
untuk ayam broiler, 14572.003 kilogram selada, 266436 kilogram pupuk kasgot, dan 509.25
kilogram pupuk kompos. Pemanenan dilakukan setiap minggu untuk ayam broiler dan selada
dengan rentang budidaya selama empat minggu untuk ayam broiler dan lima minggu untuk selada.
Digunakan lahan sebesar 0.6 hektar dengan rincian 0.375 hektar digunakan sebagai lahan budidaya
selada, 0.125 hektar sebagai lahan budidaya ayam broiler, dan 0.1 hektar digunakan sebagai sarana
penunjang berupa tempat pembibitan, kantor, tempat parkir, gudang, rumah pengolahan limbah,
embung, jalur irigasi, toilet, dan keperluan lainnya. Kegiatan produksi terbagi menjadi dua bahan
baku utama berupa ayam broiler dan selada. Limbah peternakan berupa kotoran ayam broiler
dikonversi menggunakan larva instar 1 black soldier fly(BSF). Hasil konversi berupa pupuk kasgot
dimanfaatkan sebagai kebutuhan pupuk pada budidaya selada dan kelebihan hasilnya dapat dijual.
Hasil biomassa berupa larva instar 5 BSF dimanfaatkan sebagai campuran pakan untuk budidaya
ayam broiler di masa tanam selanjutnya. Pada budidaya selada, terdapat limbah berupa limbah
tajuk dan akar yang kemudian dikomposkan. Hasil pengomposan kemudian dikemas dan dijadikan
sebagai produk sampingan.
Diperlukan biaya investasi sebesar Rp2.051.221.674,5 yang bersumber dari dana pemilik
perusahaan. Harga jual masing-masing produk ditentukan sebesar Rp20000/ekor untuk ayam
broiler, Rp6000/kg untuk selada, Rp10000/kg untuk pupuk kasgot, dan Rp3000/kg untuk pupuk
kompos. Dengan keseluruhan harga yang telah ditentukan, diproyeksikan didapatkan total
pendapatan sebesar Rp4.481.319.768 pertahunnya. Masing-masing produk akan memberikan
keuntungan bagi perusahaan apabila produk yang dijual berapa di atas proyeksi Break Even
Point(BEP) sebesar 32.407 ekor atau senilai Rp648.130.209,64 per tahunnya untuk ayam broiler,
2.342,26 kilogram atau senilai Rp14.053.572,32 per tahunnya untuk selada, 141,02 kilogram atau
senilai Rp423.053,40 per tahunnya untuk pupuk kompos, dan 45.301,76 kilogram atau senilai
Rp453.017.628,83 per tahunnya untuk pupuk kasgot. Analisis finansial menunjukkan Payback
Period(PP) dapat tercapai setelah usaha berjalan selama 2 tahun 3 bulan dan 8 hari, Net Present
Value(NPV) sebesar Rp6.135.973.279, IRR sebesar 84,025%, dan B/C ratio sebesar 3,99.
Berdasarkan analisis yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa usaha Pra-rancangan sistem budidaya tanaman selada(Lactuca sativa L.) Var. Great Alisan yang terintegrasi ternak ayam
broiler dengan pakan campuran black soldier fly(BSF) layak untuk dijalankan.