Abstrak :
Berdasarkan sejarah deregulasi peraturan dan perundangundangan di sektor pertambangan umum, Indonesia pemah menerapkan sistem royalti ad valorem dan flat rate. Khusus untuk mineral emas, ad valorem diterapkan pada KK IV/1986, tarif 1 - 2%. Flat rate diterapkan pada KK generasi berikutnya sampai akhir tahun 1999, tarif 225 - 235 US $/kg.
Untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor pertambangan umum, pemerintah mengeluarkan PP 13/2000 tentang Perubahan Atas PP 58/1998. Pada peraturan tersebut sistem royalti mineral emas yang digunakan adalah ad valorem dengan tarif 3,75%, lebih tinggi dibanding royalti KK IV/1986.
Untuk mengetahui perbandingan dampak sistem royalti terhadap penerimaan negara dan rasio keuangan perusahaan, dilakukan simulasi royalti PP No. 58/998 dan PP No. 13/2000 terhadap suatu laporan keuangan perusahaan pertambangan emas yang berada pada KK IV/1986. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih luas, disimulasikan pula royalti profit based dengan tarif 3% dan 12%.
Berdasarkan basil simulasi, bila dibandingkan dengan penerapan royalti KK IV/1986, maka:
? Penerapan royalti PP 13/2000 penerimaan negara lebih besar 6,37%. Penerapan royaltl PP 58/1998 penerimaan negara lebih besar 3,48%. Penerapan royalti profit based tarif 12% penerimaan negara lebih besar 3,84%.
? Semua sistem royalti tidak menghasilkan kinerja keuangan perusahaan yang berbeda secara signifikan. Rasio keuangan yang paling berpengaruh adalah rasio lancar. Penerapan PP 13/2000, rasio lancar berkurang 17,7%. Penerapan PP 58/1998, rasio lam-at perusahaan berkurang 6,5%. Penerapan profit based tarif 12%, rasio lancar perusahaan berkurang 5,8%.
Tingkat bersih pengembalian ekuitas pemegang saham perusahaan lebih rendah dibanding rata-rata tingkat bersih pengembalian saham dari perusahaan sejenis. Rendahnya tingkat bersih pengembalian saham tersebut lebih disebabkan karena beban bunga pinjaman yang lebih tinggi dibanding beban bunga pinjaman perusahaan pembanding.
Perpustakaan Digital ITB