digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Kejadian stroke saat ini mengalami transisi dari penyebab kematian menjadi penyebab kecacatan. Hal tersebut terjadi karena jumlah kematian akibat stroke menurun, sementara jumlah kecacatan akibat stroke meningkat. Diketahui bahwa 44-63% penderita stroke akut mengalami gangguan menelan atau disfagia sebagai konsekunsi kecacatan dari gejala stroke. Evaluasi kuantitatif terhadap penderita stroke dengan risiko gangguan menelan diperlukan untuk meningkatan keakuratan dalam menentukan diagnosis dan skema rehabilitasi lanjutan yang dibutuhkan pasien. Secara konvensional penggunaan video X-ray fluoroscopy atau video-fluoroscopic swallowing study (VFSS) digunakan untuk diagnosis. Pendekatan lain yang berkembang tanpa risiko radiasi adalah berdasarkan pola koordinasi otot yang terlibat pada proses menelan sebagai indikasi tingkat keparahan gejala gangguan menelan pada pasien. Pada penelitian ini, elektromiografi permukaan (surface electromyography-sEMG) digunakan untuk mengkuantifikasi koordinasi otot yang terlibat pada proses menelan, yang terukur pada kelompok otot suprahyoid (SUP) dan infrahyoid (INF). Sebanyak 30 subjek sehat dan 44 pasien pasca stroke (rata-rata usia 39,8 ± 15,5 tahun) terlibat dalam penelitian ini. Skema eksperimen menginstruksikan subjek untuk menelan air sebanyak 3 mL (normal swallow), 15 mL (effortful swallow) dan menelan saliva (dry swallow). Pengukuran sinyal sEMG pada proses menelan di area leher seringkali dipengaruhi oleh noise dan artefak denyut jantung (electrocardiography-ECG). Dekomposisi sinyal sEMG yang terkontaminasi noise dan artefak ECG dilakukan dengan metode discrete wavelet transform (DWT). Analisis gangguan menelan ditentukan berdasarkan fitur sinyal sEMG pada subjek sehat dan penderita stroke dengan risiko gangguan menelan. Fitur sinyal sEMG yang terdiri atas durasi, onset, offset, time to peak, root mean square (RMS), korelasi silang dan time-frequency spectrogram secara signifikan mampu membedakan proses menelan pada subjek sehat dan pasien pasca stroke. Hasil menunjukkan bahwa durasi menelan pada subjek sehat memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan pasien. Parameter time to peak pada subjek sehat menunjukkan nilai yang lebih cepat dibandingkan dengan pasien. Durasi menelan dan time to peak yang lebih cepat menunjukkan waktu penyaluran makanan atau minuman dari mulut ke dalam lambung yang lebih baik. Kekuatan sinyal sEMG (root mean square-RMS) menunjukkan bahwa otot suprahyoid merupakan otot yang lebih dominan pada proses menelan. Rata-rata nilai RMS pada otot suprahyoid lebih besar dibandingkan nilai RMS pada otot infrahyoid. Nilai RMS yang lebih besar menunjukkan kekuatan kontraksi otot yang lebih signifikan. Kuantifikasi koordinasi otot pada proses menelan secara signifikan dapat diketahui berdasarkan parameter koefisien korelasi dan luas area spektrogram, semakin tinggi nilai parameter tersebut merepresentasikan koordinasi otot yang lebih baik. Diketahui bahwa subjek sehat memiliki nilai koefisien korelasi dan luas area spektrogram yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien pasca stroke. Sehingga subjek sehat menunjukkan koordinasi otot yang lebih baik dibandingkan dengan pasien pasca stroke. Analisis tingkat keparahan gangguan menelan (disfagia) secara signifikan ditentukan oleh fitur RMS, korelasi silang dan luas area spektrogram. Keparahan disfagia diklasifikasikan menjadi kondisi subjek sehat, pasien stroke tidak disfagia dan pasien stroke disfagia. Nilai ambang fitur RMS di otot SUP pada subjek sehat, pasien stroke tidak disfagia dan pasien stroke disfagia bernilai 23,0658 mV, 21,0173 mV dan 18,7766 mV (normal swallow) serta 24,4743 mV, 17,1983 mV dan 22,8421 mV (dry swallow). Nilai ambang fitur koefisien korelasi silang pada subjek sehat, pasien stroke tidak disfagia dan pasien stroke disfagia bernilai 0,9073; 0,8068 dan 0,8049 (normal swallow) serta 0,9234; 0,8120 dan 0,7994 (dry swallow). Normalisasi luas area spektrogram di otot SUP pada subjek sehat, pasien stroke tidak disfagia dan pasien stroke disfagia bernilai 1,8604; 1,3040 dan 1,1794 (normal swallow) serta 2,3240; 1,1288 dan 1,1142 (dry swallow). Identifikasi ini memiliki potensi untuk dijadikan acuan bagi klinisi maupun dokter untuk menyarankan skema rehabilitasi lanjutan yang akan diterapkan kepada pasien pasca stroke, melakukan diagnosis dan prognosis terhadap keparahan gejala gangguan menelan (disfagia).