digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

COVER Boy Bakamaro Ginting
PUBLIC Roosalina Vanina Viyazza

BAB 1 Boy Bakamaro Ginting
PUBLIC Roosalina Vanina Viyazza

BAB 2 Boy Bakamaro Ginting
PUBLIC Roosalina Vanina Viyazza

BAB 3 Boy Bakamaro Ginting
PUBLIC Roosalina Vanina Viyazza

BAB 4 Boy Bakamaro Ginting
PUBLIC Roosalina Vanina Viyazza

PUSTAKA Boy Bakamaro Ginting
PUBLIC Roosalina Vanina Viyazza

Hingga penghujung 2019, Televisi masih menjadi primadona dalam konsumsi media ditengah berkembang pesatnya media digital dan internet. Menurut data statisk lebih dari 93 % penduduk di Indonesia masih menonton televisi sebagai media hiburan ataupun mendapatkan infromasi. Fakta ini diperkuat dengan data hasil survey Nielsen Indonesia di 11 kota besar, yang mengatakan masih ada 56 juta penonton televisi. Jumlah ini masih jauh lebih besar dari pengguna media sosial. Saat ini rata-rata pengguna sosial media menghabiskan waktu lebih dari 3,5 jam per hari sementara penonton televisi menghabiskan waktu hamper 5 jam per hari. Di sisi industri, perusahaan televisi di Indonesia yang mencapai 20 perusahaan yang memakai jaringan bebas atau Free To Air ( FTA ) berjibaku dengan persaingan untuk mendapatkan jumlah penonton, sekaligus mengakali mahalnya ongkos produksi sebuah program televisi. Adanya aturan bekerjasama dengan perusahaan daerah sesuai dengan amanah Undang-undang Penyiaran No.32 Tahun 2002, menambah beban industri televisi untuk bisa mengembangkan industri secara merata, baik secara proses bisnis maupun pengembangan tenaga kerja. Undang-undang ini mengatur Perusahaan Televisi nasional harus berjaringan dengan televisi lokal ( Sistem Siaran jaringan= SSJ ), dengan cara memiliki perusahaan daerah atau sekedar bekerja sama. Undang-undang ini pun mengatur kewajiban televisi nasional untuk memuat 10 persen tayangan dengan konten local. Sayangnya, ongkos produksi satu program yang tak murah, membuat perusahaan televisi nasional harus menemukan strategi tepat dalam memproduksi tayangan dengan konten lokal. Sejauh ini belum semua Perusahaan Televisi Nasional yang memenuhi manat undang-undang penyiaran no.32. dari sejumlah yang telah melaksanakannya, pada umumnya memproduksi acara tayangan berita, karena ongkos produksi yang lebih murah. Perusahan televisi berita menghadapi permasalahan tersendiri karena hanya mampu mengelola jumlah penonton yang terbatas bila dibandingkan televisi hiburan, namun disisi lain memegang peranan yang lebih besar demi menghasilkan program yang berdampak positif bagi penontonnya. Salah satunya yang dihadapi Inewstv Medan. Peneliti mencoba memotret bagaimana sistem produksi program berita dihasilkan, apakah sudah sesuai dengan standar kualitas seperti Jurnalisme dan aturan lainnya dan apa dampaknya bagi proses bisnis. Metodologi penelitian dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya melalui monitoring yang dilakukan pada periode Oktober hingga Desember 2018. Evaluasi terhadap sistem produksi berita kemudian dibandingkan dengan standar produksi berita dan kaidah jurnalisme televsi. Survey dan interview terhadap praktisi produksi berita menjadi patokan yang dicapai. Untuk mengukur kinerja manajerial menggunakan salah satu kaidah dalam Six Sigma, yaitu: DMAIC ( Define, Measure, Analyze, Improve and Control ). Melalui evaluasi DMAIC, Inewstv medan akan menjalani proses bisnis yang ideal yang dapat dijadikan acuan bagi biro lainnya di Inewstv. Memeriksa ulang apakah proses produksi dan bisnis sudah berjalan sesuai standar, kerap terjadi dalam perusahaan yang cukup besar. Penelitian ini diharapkan menjadi bukti bahwa pemeriksaan ulang proses bisnis pada bagian paling hulu, menjadi kunci berjalannya suatu sistem manajerial yang baik, karena mustahil bisa menyelesaikan masalah yang besar dalam perusahaan bila masalah kecil masih dibiarkan.