digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

1997 Youmma Shastri
PUBLIC Alice Diniarti

Abstrak Pola pembangunan kolektif merupakan- konsep lama yang dianut secara komunal dalam pembangunan sosial dan ekonomi di Minangkabau. Pola ini mulai memudar akibat dampak modernisasi terhadap kebudayaan, perubahan sistem pemerintahan Negeri menjadi Desa/Kelurahan yang merupakan pengaruh eksplisit. Pengaruh itu secara inflisit juga menyeret nilai-nilai sosial dan budaya kolektif dalam masyarakat. "Anak tidak lagi dipangku, kemenakan tidak lagi dibimbing". Pola hidup komunal bergeser menjadi individual. Fenomena itu semakin lama makin parah akibat pembagian lahan pusako yang semakin hari semakin menciut akibat bertambahnya anak-kemenakan. Secara umum anak-kemenakan tersebut hidup dari usaha pertanian. Pengaruh-pengaruh itu mulai melahirkan dampak kemiskinan dan keterbelakangan yang semakin melebar. Dengan diyakini petitih Mat "tak lekang kena panas dan tak lapuk kena hujan" maka pola kerja kolektif tradisionalpun sebenarnya masih ada tetapi mulai terkubur dan perlu digali kembali. Dengan menggalang Kemanunggalan Pemda Tkt.II, LKAAM/KAN dan Masyarakat, pola kolektif tersebut dicanangkan sebagai program pengentasan kemiskinan dengan nama "Manunggal Pra Sejahtera" (MPS) program ini diarahkan pada pembangunan dan perbaikan perumahan. Lalu muncul pertanyaan, (1) Bagaimana pembagian peran dan jaringan kerja antar sektor pelaku ?.(2) Masalah perumahan untuk siapa saja yang mampu diatasi dengan pola kolektif MPS ?. (3) Bila dibandingkan dengan beberapa kasus pengadaan rumah berpola kolektif lainnya di Indonesia apakah keunikan poll' MPS itu dan mungkinkah pola ini dapat diterapkan pada daerah lain di Indonesia ?. Penelitian ini diharapkan dapat menjawab beberapa pertanyaan tersebut sehingga hasilnya dapat dijadikan sebagai alternatif penanganan konsep pembangunan berpola kolektif pada kasus lain dan sebagai bahan evaluasi bagi pole MPS pada masa datang. Untuk tujuan diatas dilakukan penelitian pada 3 Kecamatan di Kabupaten Tanah Datar (Lima Kaum, Sungayang dan Salimpaung) yang secara umum dapat mewakili karakter komunitas pada 10 kecamatan yang ada:. Melalui penelitian awal diketahui bahwa MPS hanya memilik.i 1(satu) Maka secara metodologis teknik pengambilan data kualitatif tidak dilakukan dengan teloaik sampling tetapi dikumpulkan pada beberapa wilayah penelitian yang dianggap dapat membeiikan informasi secara mantap dan terpercaya sesuai keberagaman/kompleksitas fenomena yang distudi (Lincoln dan Guba, dalam Faisal 1990: 56). Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara dan pengamatan langsung oleh peneliti secara tidak terstruktur. Dalam studi kepustakaan sebagai peneliti pendahulu yang belum memiliki pengalaman sebelumnya terhadap kasus dan beham adanya penelitian pada kasus yang sama maka penelitian tidak menggunakan teori tetapi ekoplorasi dilakukan dengan penelusuran artefak objek fisik yang dikomparasikan dengan teori-teori masyarakat dan pola sosial budaya masyarakat lokal. Melalui eksplorasi terhadap mekanisme dan kineerja yang dilakukan dan sektor pelaku dapat dicatat beberapa. hal, (1) Dalam tahap pembentukan program sampai pengawasan program ditingkat kelurahan/Desa terlihat dominasi pemerintah. Namun pada tingkat implementasinya dominasi itu mulai dibagi bersama pemuka adat (Ninik Mamak-Alim Ulama-Cerdik Pandai) sebagai jembatan menuju komunitas. Selanjutnya komunitas (termasuk keluarga sasaran) dengan dukungan perantau secara teritorial membentuk kelompok-kelompok "Charity" untuk memobilisasi segala sumberdaya yang diperlukan, Sistem kolektif ini memanfaatkan pola sosial dan budaya lokal. Melalui bukti-bukti lapangan dapat disimpulkan bahwa pola pembaiigunan MPS merupakan suatu gerakan kesetiakawanan yang bersifat Charity. Ini merupakan strategi pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan (terutama fisik) terhadap komunitas berpenghasilan rendah. Polo MPS tidak dapat disebut sebagai pola kolektif yang bertumpu pada upaya komunitas, tetapi lebih tepat disebut sebagai kegiatan kolektif komunitas untuk membantu orang lain. Dasarnya adalah karena tidak setiap pengikut kolektif dapat menikmati hasil kerja kelompok tetapi sebagian kecil anggota kelompok. Selanjutnya untuk mengidentifikasi lebih lanjut pola MT S dilakukan pembandingan dengan beberapa pole kolektif diluar daerah penelitian a.l (1). Pola pembangunan rumah arisan "Rik-rik Gemi" (sebut RG) dan (2). Pola pembangunan rumah karyawan melalui Kopdit Borromeus di Bandung (sebut KB). Identifikssi ditekankan pada. 6 faktor {pereetris kegiatan, bentuk kelompok, pihak yang terlibat, pengelola dana dan sumberdaya, penyelenggara kegiatan, dan pengelolaan setelah pascahuni). Hasilnya, (1) MPS bukan aksi kolektif masyarakat seperti "RG" atau "BM" tetapi idenya lahir dari pihak diluar komunitas. (2). MPS tidak memiliki kelompok yang permanen tempi kelompok "gotong royong" secara Ad-Hoc untuk membantu keluarga Pra Sejahtera. Sedang RG dan BM terbentuk secara permanen dalam wadah kelompok arisan dan kogerasi. (3). Komunitas MPS terlibat hanya sebatas mobilisasi sumberdaya sedang pengendali program dipegang oleh pemerintah dan lembaga adat, Pada RG semua alctifitas dari pembentukan arisan sampai pelaksanaan fisik dilakukan secara mandiri oleh anggota. (4). Dana dan sumberdaya MPS bersumber dari pemerintah; komunitas dan perantau sebagai sumbangan. Pengelolaannya tetap dikendalikan oleh team satgas dari pemerintah. Pada RG dana dan sumberdaya dikelola secara mandiri oleh anggota dan pada BM dana bersumber dari anggota dan pinjaman Bank yang dikelola oleh Kopdit. (5). Kegiatan pembangunan MPS dilakukan sepenuhnya oleh Komunitas secara sukarela. Penyelenggaraan pembangunan oleh RG dilakukan sendiri atau memakai tenaga komunitas dengan semi sukarela. Pada BM pekerjaan dilakukan oleh anggota kelompok. (6). Pemeliharaan rumah MPS dilakukan secara mandiri, demikian juga RG dan BM Dan analisis eksploratif dan Komparatif diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : (1) MPS adalah kelompok Charity yang bersumber dari komunitas sedang RG dan BM adalah kelompok kolektif yang bertumpu pada kelompok. (2). MPS merupakan kegiatan yang digerakkan pemerintah, sedangkan RG dan BM adalah kelompok yang lahir dari anggota. (3). MPS hanya terbatas sebagai kegiatan pengadaan rumah bagi keluarga Pra Sejahtera karena masih bersifat gerakan sosial sukarela dan belum mendorong upaya pemberdayaan masyarakat untuk membangun secara mandiri. (4). Dibandingkan dengan kasus RG dan BM ternyata MPS sangat berbeda sekali. Keunikannya terletak pada pemanfaatan nilai sosial budaya lokal dalam memobilisasi sumberdaya komunitas untuk menghindari pinjaman atau campur tangan Bank sehingga dinilai cukup tepat sebagai kegiatan sosial bagi keluarga pra sejahtera. (5) MPS tidak dapat diterapkan pada daerah lain di luar Sumatera Barat karma sangat bersifat lokal sedangkan RG dan BM dapat dijadikan model bagi perluasan pola kolektif pengadaan rumah masyarakat berpenghasilan rendah. Dari beberapa kesimpulan tersebut dapat dikemukakan beberapa saran. (1). Sebaiknya MPS hanya menyumbang sumberdana dan daya bagi keluarga yang benar-benar miskin yang tergolong berpenghasilan rendah sekali. Sedang bagi keluarga yang bependapatan rendah (menurut kondisi lokal) tetapi dianggap dapat menyisihkan sebagian penghasilannya maka yang lebih penting adalah memper temukannya dengan peluang-peluang atau melalui bimbingan dan ketrampilan. Hal ini dimaksudkan agar terjadinya pemberdayaan bagi keluarga untuk mandiri sehingga tidak diperlukan program pengentasan Pra Sejahtera. I dan seterusnya sebagaimana program jangka panjang MPS. (2). Mengaktiflcan pandirian arisan seperti misalnya "Rik rik Gemi" atau membina kesadaran berkoperasi seperti Kopdit Borromeus. (3). Beberapa saran-saran lainnya.