Angklung merupakan alat musik tradisional hasil kearifan lokal masyarakat Sunda yang diakui oleh UNESCO sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia, sehingga perlu dilestarikan secara holistik yakni dari hulu sebagai penyedia bahan baku angklung sampai hilir sebagai penggunaa angklung, serta membutuhkan keterlibatan pemerintah. Mengacu pada Peraturan Daerah Jawa Barat, pelestarian kesenian angklung secara tidak langsung diatur dalam PERDA JABAR Nomor 15 Tahun 2014 dan PERDA JABAR Nomor 11 Tahun 2012. Meskipun telah ada produk hukum yang mengatur, upaya pemerintah dalam melestarikan kesenian angklung cenderung terfokus pada aspek hilir dan belum menyinggung pelestarian bahan baku angklung. Dampak dari tidak adanya aturan pelestarian bahan baku adalah terjadinya penurunan pasokan Bambu Hitam untuk bahan baku angklung akibat adanya fenomena konversi jenis tanam menjadi tanaman kayu pada daerah pemasok Bambu Hitam terbaik, yakni kecamatan Surade, kabupaten Sukabumi, sehingga dibutuhkan suatu instrumen kebijakan khusus pelestarian bahan baku angklung yang dapat mendorong produksi Bambu Hitam untuk angklung, yakni melalui insentif.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui permasalahan dalam pelestarian angkung, serta besaran dan mekanisme insentif dalam pelestarian Bambu Hitam untuk bahan baku angklung. Metode penentuan besaran insentif pada tingkat petani melalui pendekatan Nilai Harapan Tanah (NHT) dengan membandingkan selisih besaran Net Present Value (NPV) usaha Bambu Hitam dengan tanaman kompetitor yakni Sengon. Metode penentuan besaran insentif pada tingkat pengumpul dan pengrajin menggunakan pendekatan Opportunity Cost terhadap suku bunga. Informasi biaya dan manfaat dianalisis menggunakan Harga Pokok Produksi (HPP) dengan metode direct cost. Penentuan mekanisme insentif menggunakan pendekatan deskripti kualitatif dengan metode analisis konten dan analisis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masalah penyediaan bahan baku angklung tersebar pada masing-masing rantai penyedia yakni petani, pengumpul dan pengrajin. Besaran insentif yang dibutuhkan untuk mempertahankan rantai petani adalah Rp 4.868.845 /ha/tahun. Penentuan insentif pada rantai pengumpul yakni kenaikan laba usaha sebesar 7% dari Harga Pokok Produksi (HPP). Mekanisme pemberian insentif dilakukan melalui pemerintah Provinsi Jawa Barat yakni Dinas Kebudayaan dan Pariwisata serta berkolaborasi dengan Dinas Kehutanan memberikan insentif dengan besaran yang telah ditentukan atau dalam bentuk pemberian bantuan budidaya (bibit, pupuk, lahan), penyediaan teknologi pembibitan, keringanan pajak, penyediaan tenaga teknis, membuka akses pasar, dan mendorong sertifikasi kualitas. Besaran dan mekanisme insentif yang telah dirancang, diinternalisasi dalam kebijakan pemerintah sehingga dapat diimplementasikan.