Perkembangan teknologi di bidang produk elektronik yang tidak diiringi dengan perkembangan teknologi pengolahan limbah elektronik menyebabkan peningkatan laju timbulan limbah elektronik. Limbah elektronik memiliki potensi bahaya bagi lingkungan maupun kesehatan karena komponen penyusunnya didominasi oleh logam berat dan POPs. Di Pulau Jawa, hampir 90% dari total limbah elektronik yang dihasilkan ditangani oleh sektor informal (Damanhuri, 2017). Kota Bandung yang merupakan salah satu kota terbesar di Indonesia belum memiliki fasilitas daur ulang limbah elektronik. Perancangan fasilitas daur ulang limbah elektronik di Kota Bandung mengacu kepada timbulan tiga produk elektronik yang paling banyak menjadi limbah di Kota Bandung, yaitu ponsel, laptop, dan televisi. Proyeksi timbulan menggunakan delay model untuk proyeksi domestik dan time step model untuk proyeksi nondomestik. Timbulan limbah elektronik dari sumber domestik dan nondomestik diproyeksikan mencapai 3.683.018 unit di tahun 2029. Jumlah tersebut setara berat sebesar 10.656 ton di tahun 2029. Skenario sistem daur ulang limbah elektronik memiliki tingkat pengumpulan 50%, tingkat pelayanan 91,4%, dan tingkat pemulihan sebesar 80% (Friege, 2012). Fasilitas daur ulang limbah elektronik di rancang di area TPPAS regional Legok Nangka dengan keperluan luas lahan 1 ha. Fasilitas tersebut akan dapat mengolah 29,19 ton limbah elekronik/hari. Proses daur ulang PCB, logam, dan kabel dapat menghasilkan hingga 7,75 ton ingot logam setiap hari dan plastik insulator hingga 0,18 ton setiap hari. Residu dari proses daur ulang kabel dan pemisahan logam nonferrous serta resin dan fiber dari pembongkaran PCB sebanyak 1,5 ton setiap harinya dapat menjadi sumber energi untuk industri semen.