digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Sebagai cekungan terluas dan salah satu yang paling produktif di Indonesia, studi geologi khususnya sedimentologi di Cekungan Kutai telah dilakukan secara intensif untuk memahami sistem pengendapannya. Interaksi proses fluvial, pasang surut dan gelombang telah teridentifikasi dan telah ditafsirkan sebagai sistem pengendapan delta. Namun demikian, penafsiran tersebut berpotensi menimbulkan masalah dan diperdebatkan, karena tidak hanya delta yang dapat dihasilkan dari interaksi proses fluvial, pasang surut dan gelombang namun sistem pengendapan non delta pada lingkungan transisi berpotensi berekembang. Iknofosil berpotensi mengungkap sistem pengendapan di Cekungan Kutai. Namun demikian, studi iknologi pada sistem pengendapan seperti itu sangat jarang dilakukan, walaupun variasi dan intensitas bioturbasi terlihat pada singkapan dan inti batuan di Cekungan Kutai terbukti ada. Tujuan dari studi ini adalah determinasi asosiasi iknofosil dan rekonstruksi sistem pengendapan di daerah Samarinda interval Serravallian dan Tortonian yang didasarkan pada data iknofosil. Karena sifatnya yang insitu dan bagian dari peristiwa sedimentasi dan bagian dari struktur sedimen, maka asosiasi iknofosil dan variabel iknofabrik dapat digunakan untuk pemodelan sistem pengendapan dalam ruang dan waktu. Bagaimana sistem pengendapan dapat ditafsirkan dari asosiasi iknofosil dan variabel-variabel iknofabrik adalah masalah yang perlu dipecahkan. Enamratus empat puluh unit iknofabrik telah diamati pada 20 singkapan pada interval Serravallian-Tortonian di daerah Samarinda. Identifikasi iknotaksa dan mengukur indeks bioturbasi (IB), keragaman iknofosil (KI), jumlah behavior (JB), kedalaman penetrasi (KP) dan diameter iknofosil (Dm) telah dilakukan di setiap unit iknofabrik. Gejala iknologi tersebut diintegrasikan dengan analisis fasies dan arah umum arus purba untuk penafsiran sistem pengendapan. Tigapuluh empat iknotaksa telah diidentifikasi, yang meliputi Arenicolites, Bergaueria, Chondrites, Conichnus, Cylindrichnus, Diplocraterion, Fugichnia, Gyrolithes, Heimdallia, Helminthoidichnites, Macanopsis, Macaronichnus, Monocraterion, Ophiomorpha, Paleophycus, Phycodes, Phycosiphon, Planolites, Platicytes, Polykladichnus, Psilonichnus, Rhizocorallium, Rosellia, Trackway, Schaubcylindrichnus, Scolicia, Siphonichnus, Skolithos, Taenadium, Teichichnus, Thalassinoides dan Zoophycus. Duapuluh satu dari semua iknotaksa tersebut adalah dominan yang menyusun unit iknofabrik. Akibatnya, 21 asosiasi iknofosil dapat ditentukan. Namun demikian, hanya enam dari 21 asosiasi iknofosil tersebut adalah asosiasi iknofosil utama antara lain asosiasi-asosiasi Ophiomorpha, Skolithos, Paleophycus, Thalassinoides, Planolites dan Chondrites. Setiap asosiasi iknofosil tersebut umumnya muncul sebagai varian monospesifik. Ratarata IB, KI, JB, KP dan Dm dari 600 unit iknofabrik masing-masing adalah 2,49; 1,69; 1,28; 2,28 and 2,18. Nilai-nilai tersebut dikategorikan derajat rendah. Temuan ini adalah indikator lingkungan laut dangkal dan brackish. Iknodisparitas dan pemanfaatan ruang adalah komponen-komponen baru dari analisis komponen utama. Iknodisparitas adalah fungsi dari IB, KI dan JB dan komponen pemanfaatan ruang adalah fungsi dari KP dan Dm. Hasil penting lainnya adalah skor unit iknofabrik yang memiliki nilai paleoekologi. Skor-skor tersebut tersebut pada sumbu KU-1 dan KU-2 yang dapat dikelompokkan atas dasar kriteria proses-proses sedimentasi. Pada interval Serravallian, zona A didominasi oleh Skolithos dan Paleophycus, zona B didominasi oleh Skolithos dan Ophiomorpha dan zona C didominasi oleh Ophiomorpha, Planolites dan Skolithos. Pada interval Tortonian, zona D didominasi oleh Ophiomorpha dan zona E didominasi oleh Skolithos. Secara keseluruhan, iknofosil Serravallian lebih beragam bila dibandingkan dengan Tortonian. Iknodisparitas menjelaskan suplai makanan dan energi hidrodinamika. Pemanfaatan ruang menjelaskan fluktuasi paleosalinitas dan paleotemperatur. Orientasi distribusi skor KU-1 dan KU-2 berkorelasi dengan tren paleosedimentasi barat-timur di Cekungan Kutai selama Miosen. Intensitas suplai makanan dan energi hidrodinamika kemungkinan dikontrol oleh influks fluvial. Intensitas fluktuasi paleosalinitas dan paleotemperatur kemungkinan dikontrol oleh peningkatan intensitas spring tides atau rentang pasang surut. Integrasi peta-peta KU-1 dan KU-2 dan hasil dari analisis fasies dapat menghasilkan peta-peta peleogeografi dan model-model paleoekologi. Paleogeografi Serravallian mengindikasikan sistem pengendapan seperti sistem pantai dominasi gelombang (zona A), delta dominasi fluvial (zona B) dan pantai kombinasi gelombang-pasang surut (zona C). Iknodisparitas meningkat dari zona A ke zona C. Zonasi iknofosil yang unik juga telah diidentifikasi. Sistem pantai dominasi gelombang dicirikan dengan kehadiran Paloephycus dan sistem pantai kombinasi gelombang-pasang surut dicirikan oleh Planolites. Paleogeografi Tortonian menunjukkan dua sistem pengendapan seperti delta dominasi fluvial (zona D) yang dicirikan dengan Skolithos dan estuaria (zona E) yang dicirikan dengan Ophiomorpha. Pemanfaatan ruang meningkat dari zona E ke zona D. Model-model paleoekologi Serravallian dan Tortonian dapat digunakan sebagai alat prediksi. Misalnya saja pada Serravallian terdapat kecenderungan peningkatan suplai makanan yang diikuti dengan perubahan proses sedimentasi dan intensitas Paleophycus, Planolites, Chondrites and Thalassinoides yang jendela kolonisasi, struktur dan strategi paleokomunitas dapat diketahui. Pada interval Tortonian terdapat kecenderungan peningkatan fluktuasi paleosalinitas dan peleotemperatur yang dicirikan dengan peningkatan intensitas Ophiomorpha. Secara stratigrafi, probabilitas ditemukannya asosiasi Skolithos semakin meningkat pada interval Serravallian, sedangkan pada interval Tortonian menunjukkan sebaliknya. Dengan demikian, sistem pengendapan Serravallian dan Tortonian dikontrol masing-masing oleh influks fluvial dan spring tides/rentang pasang surut.