digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Artritis reumatoid (AR) merupakan gangguan autoimun sistemik, ditandai dengan adanya artritis erosif pada sendi sinovial yang simetris. Penyakit ini menyebabkan nyeri akibat kerusakan sendi, kegagalan fungsi sendi, dan penurunan kualitas hidup bahkan kecacatan. Diagnosis awal dan pengendalian AR memberikan fungsi pemeliharaan dan mencegah terjadinya kecacatan. Cartilage oligomeric matrix protein (COMP) merupakan biomarker potensial untuk memonitor perkembangan kerusakan dan cedera kartilago. COMP merupakan senyawa glikoprotein yang terutama diekspresikan dalam kartilago, tendon, sinovial, dan fibroblas dermal. Fungsi COMP adalah mengkatalisis fibrilogenesis kolagen. Metode penentuan kadar COMP yang paling akurat adalah enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), tetapi metode ini mahal, memerlukan analis yang terlatih, dan tidak dapat membedakan oligomer COMP. Metode alternatif untuk solusi masalah tersebut adalah analisis profil elektroferogram endapan COMP serum yang dapat memisahkan COMP berdasarkan bobot molekul oligomer. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis profil elektroferogram endapan COMP serum pasien AR dan individu normal sehingga dapat diaplikasikan untuk telaah marker AR. Penelitian ini dilakukan setelah mendapatkan persetujuan etik dan izin penelitian dari Komite Etik Penelitian Kesehatan RSUP Dr Hasan Sadikin Bandung. Pasien AR pada penelitian ini adalah pasien AR yang berkunjung ke Poliklinik Reumatologi RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada bulan Maret hingga Mei 2016. Sebanyak 50 pasien AR diekslusi, karena memiliki penyakit kronis lain, seperti hipertensi dan diabetes. Pasien AR yang memenuhi kriteria inklusi hanya 30 orang, maka digunakan 30 individu normal sebagai pembanding. Pasien AR terdiri atas 4 pria (13,3%) dan 26 wanita (86,7%) dengan rasio 1:7. Rata-rata usia adalah 44 ± 11 tahun (rentang 20-64 tahun) untuk pasien AR dan 41 ± 13 tahun (rentang 21-60 tahun) untuk individu normal. Wawancara dilakukan terhadap pasien AR untuk mengetahui informasi usia, durasi kekakuan sendi pada pagi hari, jumlah artritis pada 28 sendi (jari tangan, pergelangan tangan, siku, dan lutut), jumlah artritis pada sendi lengan, artritis simetris, lama sakit, terapi obat, penyuntikan dan/atau operasi yang pernah dilakukan, serta anggota keluarga yang memiliki penyakit sendi. Hasil wawancara diolah untuk menghitung nilai aktivitas penyakit dan menentukan korelasi data hasil wawancara dengan data serologi yang diperoleh melalui penelitian. iii Prevalensi AR tertinggi terjadi pada pasien berusia 46-55 tahun (46,7%). Hasil wawancara menunjukkan bahwa pasien mengunjungi dokter setelah menyadari tubuhnya tidak dapat bergerak secara normal. Hal ini menunjukkan bahwa pasien kurang memiliki pengetahuan atau kesadaran terhadap gejala AR. Rata-rata lama sakit adalah 57,6 ± 48,3 bulan (rentang 3-204 bulan) dengan frekuensi tertinggi selama 10-19 bulan (16,7%). Rentang lama sakit sangat lebar dengan kondisi yang bervariasi, bahkan cenderung membaik karena kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat. Sebanyak 93,3% pasien diberi terapi DMARD (Disease Modifying Anti-Rheumatic Drugs), AINS (anti inflamasi non steroid), dan analgesik. Pemantauan inflamasi pada pasien AR secara rutin dilakukan melalui penentuan laju endap darah (LED). Nilai LED ditentukan menggunakan metode Westergren. Nilai LED pasien AR adalah 22,0 ± 13,0 mm/jam untuk pria dan 30,8 ± 11,1 mm/jam untuk wanita. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan nilai LED individu normal. Nilai LED dan kondisi sendi pasien digunakan untuk menghitung nilai aktivitas penyakit (NAP). Rata-rata NAP adalah 3,4 ± 0,2, yaitu kategori aktivitas artritis yang moderat. Hal ini disebabkan pasien telah mendapatkan terapi obat, bahkan tindakan medis berupa kortikosteroid intramuskular, operasi sendi, ataupun kombinasi keduanya. Faktor reumatoid (FR) merupakan autoantibodi pertama yang ditemukan berhubungan dengan AR. Penentuan FR dilakukan menggunakan metode aglutinasi lateks. Hasil RF positif ditemukan pada 86,7% pasien AR dan 23,3% individu normal. Individu normal memberikan hasil FR positif karena FR memberikan hasil positif untuk penyakit autoimun lain, selain AR, sedangkan pada penelitian ini, tidak dilakukan pemeriksaaan penyakit autoimun lain. Pemantauan inflamasi juga dapat dilakukan melalui penentuan kadar protein total, karena sistem imun melepaskan protein fase akut, yang tidak terjadi pada individu normal. Kadar protein total ditentukan dengan metode kolorimetri menggunakan pereaksi Bradford. Kadar protein total adalah 104,7 ± 16,3 mg/mL (rentang 64,95- 131,26 mg/mL) pada pasien AR dan 92,3 ± 14,5 mg/mL (rentang 58,11-116,53 mg/mL) pada individu normal. Kadar protein total pasien AR dan individu normal berbeda secara signifikan (p = 0,02). Pasien AR lebih berisiko kehilangan tulang dan fraktur karena inaktivasi fungsi sendi dan terapi glukokortikoid. Kadar kalsium total ditentukan dengan metode kolorimetri menggunakan pereaksi mureksid. Kadar kalsium total pasien AR (75,3 ± 37,4 μg/mL) lebih rendah dibandingkan dengan individu normal (81,5 ± 39,6 μg/mL), tetapi tidak ada perbedaan yang signifikan (p = 0,56). Hal ini disebabkan seluruh pasien AR memperoleh suplemen kalsium karbonat untuk mempertahankan kadar kalsium dalam tubuh. Kadar COMP serum ditentukan dengan metode ELISA. Kadar COMP serum pasien AR (873,2 ± 165,6 ng/mL) lebih rendah dibandingkan dengan individu normal (927,4 ± 90,4 ng/mL), tetapi tidak ada perbedaan yang signifikan (p = 0,15). Hal ini disebabkan kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat. Alasan lain adalah banyaknya protein lain yang mengganggu interaksi COMP dengan kit ELISA. iv Sehingga diperlukan pemisahan COMP, kemudian dilakukan elektroforesis untuk menentukan bentuk oligomer COMP. Serum subjek memiliki pH 7,54 ± 0,16 untuk pasien AR dan 7,42 ± 0,12 untuk individu normal. COMP diendapkan pada pH isoelektriknya, yaitu 4,36 ± 0,01. Endapan COMP dilarutkan dan dikarakterisasi meliputi penentuan kadar protein total, kalsium, COMP, dan analisis profil elektroferogram. Kadar kalsium tidak terdeteksi dengan metode kolorimetri. Kadar protein total dalam endapan COMP lebih rendah dibandingkan dalam serum. Hal ini menunjukkan pemisahan berdasarkan pH isoelektrik berhasil memisahkan COMP dari protein lain dalam serum, tetapi pemisahan belum sempurna. Hal ini diamati dari kadar COMP dalam endapan COMP hanya meningkat 26,4 ± 2,6% pada pasien AR dan 17,1 ± 4,1% pada individu normal. Kadar protein total dalam endapan COMP pasien AR dan individu normal tidak berbeda secara signifikan (p = 0,19), sedangkan kadar COMP berbeda secara signifikan (p = 0,52 x 10-5). Hal ini menunjukkan bahwa pengendapan pada pH isoelektrik meningkatkan sensitivitas pengukuran. Pengendapan pada pH isoelektrik diperlukan untuk mendapatkan profil elektroferogram yang lebih baik, karena memisahkan COMP dari protein lain dalam serum. Metode elektroforesis dapat memisahkan COMP berdasarkan bentuk oligomernya. Hal ini diamati dari profil elektroferogram COMP yang maksimal memberikan lima pita, yaitu pentamer, tetramer, trimer, dimer, dan monomer. Intensitas pita pentamer teramati lebih tinggi dibandingkan dengan pita oligomer lainnya. Profil elektroferogram pasien AR didominasi oleh pita pentamer dan dimer, sedangkan profil elektroferogram individu normal didominasi oleh pita tetramer, trimer, dan dimer. Profil elektroferogram pasien AR dapat dibedakan dari individu normal. Hal ini merupakan keunggulan metode elektroforesis dibandingkan dengan ELISA. Penelitian ini menyimpulkan bahwa profil elektroferogram COMP dapat digunakan untuk telaah marker AR.