digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

2002_TS_PP_HERY_1.pdf
PUBLIC Ena Sukmana

Sejak diluncurkan kebijakan Pakto 88 sampai akhir tahun 1997 perbankan Indonesia mencatat pertumbuhan yang cukup signifikan baik dilihat dari sisi aktiva, kredit, modal serta sumber dana (deposito dll.). Krisis ekonomi yang terjadi sejak 1997 berdampak cukup mendalam terhadap kinerja perbankan nasional. Berawal dari kesulitan likuiditas yang serius sebagai akibat merosotnya kepercayaan masyarakat, terjadinya kenaikan suku bunga dalam negeri sebagai implikasi dari kebijakan otoritas moneter untuk meredam gejolak nilai tukar rupiah serta terpuruknya sektor usaha pada umumnya, memunculkan fenomena baru yaitu membengkaknya jumlah kredit bermasalah dan terjadinya negative spread. Kerugian dalam skala besar yang dialami, menyebabkan modal dan CAR bank-bank menjadi negatif. Kinerja perbankan nasional mengalami kemerosotan dari berbagai aspeknya sehingga mengganggu fungsi intermediasinya. Perbankan nasional bukan hanya dihadapkan pada satu dimensi permasalahan berupa masalah likuiditas, tetapi berlanjut kepada dua masalah kembar yang mendasar yaitu masalah likuiditas dan solvabilitas. Untuk mempertahankan kelangsungan usaha perbankan nasional, pemerintah mengambil serangkaian kebijakan restrukturisasi yang komprehensif, salah satu diantaranya melakukan rekapitalisasi bank-bank yang dianggap masih layak dan menutup bank-bank yang tidak mempunyai prospek lagi. Melalui proses seleksi yang ketat, pemerintah pada akhirnya memutuskan untuk merekap seluruh bank pemerintah, 20 bank umum swasta nasional dan 12 bank pembangunan daerah selama tahun 1999 dan 2000 me lalui penerbitan obligasi hingga mencapai jumlah Rp. 430 triliun. Program rekapitalisasi perbankan dengan dana yang demikian besar sering memun culkan pertanyaan, seberapa jauh dampaknya terhadap perbaikan kinerja bank-bank dan khususnya terhadap fungsi utamanya sebagai lembaga intermediasi. Hasil kajian menunjukkan bahwa program rekapitalisasi telah berhasil memperfiaild kinerja perbankan pada umumnya seperti tercermin pada berbagai indikator berupa menunrnnya kredit bermasalah, hapusnya negative spread, membaiknya tingkat profitabilitas serta positifnya kembali modal dan CAR bank-bank. Namun membaiknya kinerja perbankan tersebut belum diikuti dengan pulihnya fungsi intermediasi secara optimal, karena merekap bank dalam kondisi krisis yang sistemik adalah satu proses jangka menengah yang kompleks yang memerlukan keterlibatan pemerintah secara tenrs menerus dan manajemen yang berhati-hati baik pada tingkat strategis maupun pada tingkat bank-bank secara individual.