digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

COVER Fransisca Eureka Valesta Mahar
PUBLIC Alice Diniarti

BAB 1 Fransisca Eureka Valesta Mahar
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan

BAB 2 Fransisca Eureka Valesta Mahar
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan

BAB 3 Fransisca Eureka Valesta Mahar
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan

BAB 4 Fransisca Eureka Valesta Mahar
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan

BAB 5 Fransisca Eureka Valesta Mahar
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan


LAMPIRAN Fransisca Eureka Valesta Mahar
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan

Pabrik Gula Jatitujuh merupakan salah satu dari 10 pabrik gula yang dimiliki PT Rajawali Nusantara Indonesia, khususnya oleh salah satu anak perusahaannya yaitu PT Pabrik Gula Rajawali II, yang menerima pasokan bahan baku tebu giling dari areal Hak Guna Usaha (HGU) miliknya dan kebun Tebu Rakyat (TR). Pabrik Gula Jatitujuh berlokasi di Desa Sumber, Kecamatan Jatitujuh, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat (Bab I). Saat ini, diantara PG lainnya yang berada di bawah PT PG Rajawali II, unit Pabrik Gula Jatitujuh merupakan pabrik gula yang memiliki kapasitas giling dan produksi gula terbesar di Jawa Barat. Kontribusi Pabrik Gula Jatitujuh sekitar 12% dari kebutuhan gula di Jawa Barat dengan total kebutuhannya hingga 516.000 ton. PT PG Rajawali II Unit Pabrik Gula Jatitujuh menjalankan usahanya dalam dua bidang usaha pokok dan diversifikasi. Dalam bidang usaha pokok, Pabrik Gula Jatitujuh memproduksi gula SHS sebagai salah satu produk unggulan dan molasses (tetes) sebagai produk sampingan yang diolah menjadi spiritus (Bab I). Pabrik Gula Jatitujuh memiliki 3 ketel uap (boiler) dan pada setiap ketel uap (boiler) dihubungkan dengan satu alat pengendali pencemaran udara untuk partikulat. Ketel uap (boiler) pertama dan kedua menggunakan alat pengendali partikulat berupa wet scrubber, sedangkan untuk ketel uap (boiler) ketiga menggunakan cyclone. Ketiga ketel uap (boiler) tersebut memiliki kapasitas sebesar 55 ton/jam dengan bahan bakar utama berupa ampas tebu (bagasse) yang merupakan produk samping dari proses produksi gula (Bab II). Berdasarkan informasi yang didapatkan dari hasil observasi langsung oleh penulis, sistem pengendalian pencemaran udara untuk partikulat yang dihasilkan dari ketel uap (boiler) pada pabrik gula, yaitu berupa wet scrubber dan cyclone, memiliki kondisi fisik yang layak untuk dilakukan pergantian. Hal ini disebabkan oleh karena sistem pengendalian pencemaran udara untuk partikulat tersebut telah beroperasi selama hampir 40 tahun. Hasil observasi penulis terhadap keadaan gas yang dikeluarkan dari cerobong hasil sistem pengendalian pencemaran udara untuk partikulat juga dapat dikatakan kurang baik karena menghasilkan gas yang berwarna hitam pekat dan mengganggu kualitas dari udara di sekitar pabrik tersebut. Selain permasalahan di atas, penulis juga menemukan dari hasil wawancara yang dilakukan dengan petugas yang bertanggung jawab terhadap ketel uap (boiler) dan sistem pengendalian pencemaran udara untuk partikulat, terdapat permasalahan pada wet scrubber untuk boiler FCB 1 yaitu penyemprot air yang terdapat pada sistem tersebut sering mengalami kemacetan. Hal ini menyebabkan pada beberapa waktu, pekerja harus melakukan penyemprotan air secara manual pada sistem tersebut. Namun, pihak Pabrik Gula Jatitujuh tetap mengasumsikan bahwa sistem pengendalian pencemaran udara untuk partikulat tersebut masih dalam kondisi yang baik karena pada saat pengukuran konsentrasi partikulat yang keluar dari cerobong menunjukkan hasil yang jauh di bawah baku mutu (Bab II). Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut, maka sistem pengendalian pencemaran udara untuk partikulat yang telah diterapkan pada Pabrik Gula Jatitujuh yaitu khususnya pada unit wet scrubber untuk boiler FCB 1 perlu dilakukan redesain. Hal ini dilakukan agar emisi partikulat yang dihasilkan dari pembakaran boiler tidak mengganggu kualitas udara ambien pada saat dilakukan pembuangan. Apabila tidak dilakukan perbaikan terhadap sistem pengendalian pencemaran udara untuk partikulat tersebut, maka dapat menyebabkan dampak pada menurunnya kualitas udara di sekitar Pabrik Gula Jatitujuh (Bab II). Karakteristik dari aliran gas serta partikulat menjadi bahan pertimbangan awal untuk menentukan alat pengendalian partikulat yang akan digunakan, diantaranya yaitu karakteristik berupa emisi partikulat pada aliran gas yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan polutan-polutan lainnya yaitu sulfur dioksida dan nitrogen oksida, distribusi ukuran partikulat yang dibawa oleh aliran gas tersebut, suhu aliran gas yang keluar dari ketel uap (boiler), karakteristik aliran gas berupa tingkat kelembapan yang tinggi, serta debit dari aliran gas yang diemisikan oleh pabrik (Bab III). Selain itu, juga perlu dilakukan perhitungan emisi partikulat yang akan dikeluarkan oleh ketel uap (boiler) untuk mengetahui efisiensi minimum yang dibutuhkan oleh alat dalam mengendalikan partikulat. Perhitungan efisiensi minimum dari alat dilakukan dengan menggunakan data konsentrasi emisi partikulat yang keluar dari ketel uap (boiler) yang telah dikoreksi (Cout) sebesar 1.116,08 mg/Nm3 dan nilai dari baktu mutu (Cbaku mutu) sebesar 250 mg/Nm3 sesuai yang telah diatur dalam Lampiran II Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.7 Tahun 2007. Efisiensi minimum yang harus dicapai oleh alat pengendali yaitu sebesar 77,6 % (Bab III). Beberapa alternatif unit pengendali partikulat yang paling banyak digunakan, secara umum dibagi menjadi cyclone, scrubber, fabric filters, dan electrostatic precipitators (ESP). Berdasarkan kondisi operasional dan karakteristik dari emisi yang dihasilkan oleh ketel uap (boiler) perencanaan serta pengetahuan terhadap kinerja dari alat-alat pengendalian yang akan dipilih, maka parameter yang menjadi bahan pertimbangan awal dalam pemilihan alternatif alat pengendali partikulat diantaranya yaitu efisiensi dari unit terhadap penangkapan partikulat (PM) dari aliran gas, diameter aerodynamic partikulat, serta kemampuan unit dalam mengendalikan aliran gas dengan karakteristik yaitu kelembapan dan suhu yang tinggi. Sehingga dari hasil analisis terhadap alternatif unit beserta penilaian yang dilakukan dengan pembobotan, didapatkan bahwa unit pengendali partikulat yang dipilih berdasarkan pertimbangan awal adalah cyclone dan wet scrubber karena keduanya memiliki nilai tertinggi dalam pembobotan dengan nilai yang sama dan Karakteristik dari aliran gas serta partikulat menjadi bahan pertimbangan awal untuk menentukan alat pengendalian partikulat yang akan digunakan, diantaranya yaitu karakteristik berupa emisi partikulat pada aliran gas yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan polutan-polutan lainnya yaitu sulfur dioksida dan nitrogen oksida, distribusi ukuran partikulat yang dibawa oleh aliran gas tersebut, suhu aliran gas yang keluar dari ketel uap (boiler), karakteristik aliran gas berupa tingkat kelembapan yang tinggi, serta debit dari aliran gas yang diemisikan oleh pabrik (Bab III). Selain itu, juga perlu dilakukan perhitungan emisi partikulat yang akan dikeluarkan oleh ketel uap (boiler) untuk mengetahui efisiensi minimum yang dibutuhkan oleh alat dalam mengendalikan partikulat. Perhitungan efisiensi minimum dari alat dilakukan dengan menggunakan data konsentrasi emisi partikulat yang keluar dari ketel uap (boiler) yang telah dikoreksi (Cout) sebesar 1.116,08 mg/Nm3 dan nilai dari baktu mutu (Cbaku mutu) sebesar 250 mg/Nm3 sesuai yang telah diatur dalam Lampiran II Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.7 Tahun 2007. Efisiensi minimum yang harus dicapai oleh alat pengendali yaitu sebesar 77,6 % (Bab III). Beberapa alternatif unit pengendali partikulat yang paling banyak digunakan, secara umum dibagi menjadi cyclone, scrubber, fabric filters, dan electrostatic precipitators (ESP). Berdasarkan kondisi operasional dan karakteristik dari emisi yang dihasilkan oleh ketel uap (boiler) perencanaan serta pengetahuan terhadap kinerja dari alat-alat pengendalian yang akan dipilih, maka parameter yang menjadi bahan pertimbangan awal dalam pemilihan alternatif alat pengendali partikulat diantaranya yaitu efisiensi dari unit terhadap penangkapan partikulat (PM) dari aliran gas, diameter aerodynamic partikulat, serta kemampuan unit dalam mengendalikan aliran gas dengan karakteristik yaitu kelembapan dan suhu yang tinggi. Sehingga dari hasil analisis terhadap alternatif unit beserta penilaian yang dilakukan dengan pembobotan, didapatkan bahwa unit pengendali partikulat yang dipilih berdasarkan pertimbangan awal adalah cyclone dan wet scrubber karena keduanya memiliki nilai tertinggi dalam pembobotan dengan nilai yang sama dan memerlukan pertimbangan lebih lanjut untuk memilih alternatif dari alat pengendali partikulat yang terbaik (Bab III). Parameter-parameter tambahan yang harus diperhatikan dalam memilih diantara kedua alternatif unit pengendali partikulat, diantaranya yaitu biaya investasi awal serta biaya operasi dan pemeliharaan dari unit pengendali partikulat, pressure drop dari unit pengendali partikulat, kebutuhan lahan yang diperlukan dalam penempatan unit pengendali partikulat, sumber potensi bahaya dari unit pengendali partikulat, serta penanganan limbah hasil pengendalian partikulat oleh setiap unitnya. Dari hasil analisis terhadap alternatif unit yaitu cyclone dan wet scrubber beserta penilaian yang dilakukan terhadap keseluruhan parameter dengan metode pembobotan, maka penulis memberikan rekomendasi untuk melakukan desain ulang terhadap unit pengendali partikulat pada Pabrik Gula Jatitujuh untuk ketel uap (boiler) perencanaan dengan menggunakan unit cyclone (Bab III). Cyclone memiliki 3 jenis berdasarkan efisiensi pengendaliannya, yaitu high-efficiency, conventional, dan high-throughput. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemilihan terhadap jenis cyclone yang akan digunakan berdasarkan pertimbangan terhadap parameter-parameter, yaitu estimasi efisiensi, pressure drop, ukuran diameter (kebutuhan lahan), biaya investasi awal, serta biaya operasional dari setiap jenis cyclone tersebut. Berdasarkan hasil penilaian serta pembobotan yang dilakukan untuk setiap jenis cyclone, didapatkan bahwa conventional cyclone terpilih sebagai unit pengendali partikulat yang akan dirancang (Bab IV). Alat penunjang lainnya yang direncanakan oleh penulis yaitu ducting, dust storage, fan (induced draft fan), dan cerobong. Berdasarkan kriteria dan parameter desain teknis, didapatkan bahwa ukuran cyclone yang direncankan memiliki diameter sebesar 3,5 meter dengan penyisihan partikulat yaitu 81,02%. Selain dilakukan analisis teknis dengan perhitungan desain teknis terhadap sistem pengendalian pencemaran udara secara keseluruhan, maka perlu dilakukan analisis secara non-teknis diantaranya yaitu berupa analisis biaya untuk mengetahui kelayakan secara ekonomis proyek perencanaan pembangunan tersebut, analisis risiko, analisis ketidakpastian, analisis keberlanjutan, dan analisis life cycle principe (Bab IV). Proyek perencanaan pembangunan sistem pengendalian pencemaran udara di Pabrik Gula Jatitujuh ini dianalisis menggunakan NPV (Net Present Value) dan diketahui bahwa proyek tersebut sangat layak untuk dikembangkan karena nilai NPV mencapai sebesar +Rp1.276.278.000 untuk lama pengoperasian selama 10 tahun. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa proyek perencanaan tersebut layak secara ekonomis (Bab IV). Penulis juga memberikan rekomendasi tambahan agar kegiatan operasional serta pemeliharan terhadap sistem pengendalian pencemaran udara di Pabrik Gula Jatitujuh dapat berjalan dengan efektif dan optimal, khususnya dalam aspek inventarisasi data, operasi dan pemeliharaan, serta tenaga ahli (Bab IV).