Pembentukan pigmentasi sangat kompleks, penyebabnya adalah peradangan,
paparan sinar matahari dan banyak proses lainnya. Melanosit dan enzim tirosinase
berperan dalam menghasilkan dopa dan melanin kemudian dilepaskan bersama
dengan sel-sel stratum korneum, mengakibatkan gangguan seperti bintik-bintik,
penuaan, melasma, dan keratosis surya. Hal ini menjadi alasan bagi kosmetik untuk
menghasilkan produk pencerah kulit untuk pasar global. Namun banyaknya produk
pencerah kulit yang menimbulkan efek samping. Untuk itu, dilakukan penelitian
tentang agen anti hiperpigmentasi yang memiliki efektivitas serta efek samping
yang jauh lebih ringan. Dalam penelitian ini, digunakan ekstrak etanol 96%, dan
fraksi deklorofilisasi daun keladi tikus (Thyphonium flagelliforme) serta inhibitor
melanogenik (arbutin dan kojic acid) sebagai pembanding. Pengujian pendahuluan
berupa DPPH (2,2-difenil-1-pikrilhidrazil) dan fenolik total, untuk uji in vitro
dilakukan uji berbasis enzim dari inhibitor enzim tirosinase dan uji in vivo
dilakukan pada embrio zebrafish sebagai model hewan hiperpigmentasi,
selanjutnya dilakukan juga uji terhadap kadar melanin pada kulit marmot (Cavia
porcellus) dengan ekstrak FD deklorofilasi yang telah dibuat sediaan krim 1% dan
2%. Hasil uji pendahulan menunjukkan kadar fenolik total tertinggi pada fraksi
deklorofilisasi sebesar 61,62 mg GAE/100 g, untuk DPPH didapatkan IC50 terbaik
pada ekstrak etanol 96% sebesar 46,62 µg/mL. Hasil uji in vitro enzim tyrosinase
menunjukkan nilai IC50 terbaik pada ekstrak etanol 96% sebesar 344,1 µg/mL.
Hasil uji in vivo pada embrio zebrafish didapatkan luas bercak area hitam pada
ekstrak etanol 96% dosis 200 ppm sebesar 0,1627 mm2 sedangkan untuk kadar
melanin pada kulit marmot menunjukkan penuruanan sebesar 24,43% pada krim
fraksi deklorofilasi 2%. Hal ini dapat disimpulkan bahwa esktrak daun keladi tikus
mempunyai aktivitas sebagai agen anti hiperpigmentasi.