digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK DANI SUANDI 1.pdf ]
PUBLIC Dwi Ary Fuziastuti

Anopheles adalah nyamuk yang menularkan malaria ke manusia melalui stadium sporozoit pada air liurnya yang masuk ke dalam tubuh manusia selama proses pengambilan darah. Upaya penanggulangan malaria yang direkomendasikan oleh WHO sampai saat ini mencakup tiga aktivitas, yaitu penemuan kasus secara cepat dan pengobatan secara tepat (artemisinin based combination therapy), pemberian kelambu berinsektisida (insecticide-treated bed nets), dan penyemprotan dinding rumah dengan insektisida residu (indoor residual spraying). Dalam upaya penanggulangan tersebut, dua diantaranya berkaitan erat dengan insektisida. Keberhasilan penggunaan insektisida ini dapat terlihat dengan berkurangnya angka kematian secara global yang disebabkan oleh malaria hingga 69 persen. Namun sayangnya, penggunaan insektisida yang berkelanjutan dapat menimbulkan masalah resistensi pada populasi nyamuk. Hal ini terbukti dengan banyaknya laporan dari berbagai negara pengguna insektisida yang mencatat bahwa beberapa spesies Anopheles telah dinyatakan resisten. Dalam laporan WHO tahun 2020, secara global kasus resistensi piretroid terjadi di 69% dari situs yang melaporkan, 63,4% dari situs melaporkan resistensi organoklorin, 31,7% resistensi terhadap karbamat dan 24.9% menyatakan resistensi terhadap organofosfat. Di Indonesia, gejala resistensi nyamuk Anopheles terhadap insektisida dieldrin telah terdeteksi di 10 daerah endemik yaitu Aceh, Sumatra utara, Bangka Belitung, Lampung, Jawa tengah, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, Maluku dan Maluku Utara. Hal ini mendorong pengembangan mitigasi resistensi yang bertujuan memperlambat resistensi. Serangkaian upaya untuk mengurangi resiko terjadinya resistensi insektisida pada populasi nyamuk terus dikembangkan. Diantara mitigasi resistensi adalah melalui teknik rotasi insektisida. Misalnya ketika piretroid digunakan pada pemberian kelambu berinsektisida maka penyemprotan dinding rumah dengan insektisida residu menggunakan insektisida lain selain piretroid. Teknik rotasi ini dapat berhasil dalam memperlambat laju resistensi apabila tingkat pemahaman dalam masalah resistensi ini cukup baik. Namun sayangnya selama ini rotasi penggunaan insektisida hanya berdasarkan pada bahan aktif yang berbeda. Padahal teknik rotasi yang benar adalah berdasarkan pada cara kerja insektisida tersebut (Mode of Action). Hal ini karena bahan aktif yang berbeda tidak menjamin memiliki cara kerja yang berbeda. Akibatnya potensi adanya resistensi pada populasi nyamuk masih tinggi. Bahkan tidak hanya timbul resistensi pada satu jenis insektisida melainkan resistensi ganda (double resistance). Dalam upaya mitigasi resistensi insektisida pada nyamuk Anopheles, model matematika berbasis genetik dikonstruksi untuk mengkaji evolusi resistensi. Proses konstruksi model matematika dilakukan dalam tiga tahapan yang disajikan dalam bab yang berbeda. Pada tahapan pertama model satu lokus dua alel dikonstruksi dalam level haploid. Aspek genetik yang terlibat dalam pemodelan pada tahap ini diantaranya adalah level fitness yang merepresentasikan seleksi dalam persilangan acak. Model yang dikonstruksi merupakan sistem persamaan diferensial orde dua yang dapat direduksi menjadi orde satu. Pada level ini, teknik penurunan model masih mengadopsi pertumbuhan secara exponen. Pada model ini, faktor insektisida dilibatkan melalui pengurangan level fitness secara linear dari individu yang secara fenotipe adalah rentan. Analisis eksistensi dan kestabilan dari ekuilibrium dilakukan secara rinci. Simulasi numerik dari beberapa skenario dilakukan untuk meninjau peran insektisida terhadap evolusi resistensi. Pada tahap ini, penulis dapat menangkap situasi dimana penggunaan insektisida dapat mempercepat laju resistensi. Keterlibatan faktor insektisida yang secara langsung mempengaruhi level fitness dalam persilangan acak dianggap sebagai suatu kelemahan pada model tahap pertama. Faktanya, faktor insektisida mempengaruhi langsung pada individu nyamuk. Hal inilah yang menjadi motivasi dalam konstruksi model pada tahap kedua. Berbeda dengan sebelumnya, pada tahap ini, model yang dikonstruksi berbasis individu nyamuk dengan tetap mempertahankan proses genetiknya. Akibatnya, faktor logistik dan pengaruh demografi seperti kelahiran intrinsik dan kematian alami perlu untuk dilibatkan. Keterlibatan faktor logistik dengan mempertahankan proses genetiknya secara simultan merupakan suatu terobosan baru dalam pemodelan genetik. Sementara itu, faktor insektisida dilibatkan dengan tidak mempengaruhi level fitness melainkan mempengaruhi individu secara langsung. Himpunan invarian terhadap model, yang relevansinya terhadap aturan praktis pertama dalam pemodelan biologis, diperiksa untuk menjamin solusinya tidak negatif sepanjang waktu. Eksistensi ekuilibrium polimorfik yang implisit diberikan perhatian lebih pada model ini. Hal tersebut dilakukan untuk mempelajari potensi terjadinya keberagaman genetik dalam situasi lingkungan yang terpapar insektisida. Kestabilan ekuilibrium monomorfik yang eksplisit dianlisis dengan melihat tanda nilai eigen dari matriks Jacobi yang dievaluasi pada titik ekuilibrium tersebut. Kasus kestabilan ekuilibrium non hyperbolic dianalisis secara rinci dengan menggunakan teori center manifold. Selain itu, situasi dimana faktor insektisida diabaikan mendukung model untuk direduksi menjadi dua dimensi. Situasi tersebut dijadikan pertimbangan untuk menyelidiki justifikasi biologis yang dapat dilihat dari prilaku kualitatifnya. Tahap ini memberikan wawasan kepada kita bahwa hanya penggunaan insektisida yang sangat minim saja yang memungkinkan dapat menghindari perubahan genetik nyamuk menjadi resisten. Selain itu, dari hasil analisis kestabilan ekuilibrium polimorfik mengindikasikan bahwa keberagaman genetik dapat terjadi ketika level fitness sub populasi heterozigot lebih tinggi daripada level fitness lainnua. Hal itu merupakan salah satu justifikasi biologis yang mendukung terhadap relevansi model yang dikonstruksi dalam menggambarkan evolusi resistensi. Masalah resistensi ganda dipelajari pada tahap ketiga dengan mengkonstruksi model dua lokus yang berkorelasi dengan target sasaran insektisida. Model merupakan sistem persamaan diferensial tak linear yang dibangun dengan melibatkan faktor genetik seperti rekombinasi. Keterlibatan faktor rekombinasi, faktor seleksi, faktor logistik serta faktor demografi secara simultan merupakan hal yang baru dalam pemodelan genetik. Perkawinan secara acak yang memperhatikan status resistensi pada dua lokus menjadi alasan utama keterlibatan faktor rekombinasi dalam model. Pada tahap ini, faktor insektisida tidak secara langsung dilibatkan dalam model karena domain yang ditinjau bukan pada tataran individu melainkan pada tahap haploid. Walaupun demikian, data fitness yang digunakan pada simulasi merupakan data lapangan yang merepresentasikan kondisi daerah terpapar dan tidak terpapar insektisida. Kasus khusus yang dibangun berdasarkan distribusi level fitness, seperti model alel dan model epistasis, disajikan dan dievalusi sebagai bahan kajian kualitatif. Analisis secara rinci dilakukan untuk menampilkan kestabilan monomorfik resisten yang secara biologis mendeskripsikan tingkat dominasi genotipe resisten dalam jangka panjang. Sementara itu, dari model epistasis, keberagaman genetik pada gene pool diselidiki melalui eksistensi dan kestabilan ekuilibrium polimorfik secara numerik dengan metode Monte Carlo. Melalui tahap ini, kita memperoleh suatu pandangan bahwa faktor rekombinasi terlibat dalam mempengaruhi keberadaan resistensi ganda. Namun demikian, faktor yang paling sensitif terhadap perubahan prilaku sistem adalah faktor logistik yang selanjutnya diikuti oleh level fitness. Level fitness sub populasi rentan mendapatkan perhatian khusus karena pengaruhnya yang berbanding terbalik dengan evolusi dari sub populasi yang resisten. Hal ini berarti bahwa keberlimpahan sub populasi rentan dapat dijadikan sebagai kendali bagi evolusi resistensi. Hasil penelitian ini memberikan suatu gagasan dalam mitigasi resistensi insektisida, antara lain dengan cara menunda penggunaan insektisida sampai pada situasi dimana populasi telah kembali menjadi rentan. Hal tersebut didukung pula oleh suatu temuan bahwa keberlimpahan sub populasi rentan dapat menurunkan laju pertumbuhan resistensi. Dalam tataran praktis diperlukan monitoring secara berkala untuk mengetahui status resistensi di daerah dimana insektisida akan digunakan. Hasil analisis juga membawa pada suatu kesimpulan bahwa penata laksanaan sumber jentik, seperti manipulasi lingkungan dan larvasida, masih relevan dalam upaya mengurangi resiko terjadinya resistensi insektisida.