digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

2021 TA PP FIKHA ADELIA 1.pdf)u
Terbatas  Noor Pujiati.,S.Sos
» Gedung UPT Perpustakaan

Penelitian ini mengkaji bagaimana migrasi dan konteks sosiokultural terefleksikan pada karya-karya Mella Jaarsma sebagai seniman migran Belanda yang berperan dalam perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia. Dari semua karya instalasi wearable periode 1999-2009, penelitian berfokus pada sepuluh sampel karya: Hi Inlander (1999), Londo Ngemis dan Bule Gila (2002), The Follower (2002), Refugee Only (2003), Peranakan Shelters Small and Medium (2004), ASAL – Floating Images (2005), My Name is Michaella Jarawiri (2007), The Last Animist (2008), Zipper Zone (Master of Your Domain) (2009), dan Square Body – Kanda Empat (2009). Dilengkapi studi literatur dan wawancara dengan Mella Jaarsma, karya-karya dianalisis menggunakan metode kritik seni Terry Barrett, teori dan konsep-konsep posmodernisme, teori migrasi, globalisasi, dan glokalisasi, serta estetika multikulturalis. Berdasarkan data yang ada, pada karya instalasi wearable pertamanya Mella Jaarsma mengangkat persoalan lapisan identitas berbasis diskriminasi rasial di Indonesia pada tahun 1998, kemudian persoalan yang asli dengan yang asing. Ia lanjut melakukan penggambaran, komentar, dan refleksi atas peristiwa-peristiwa yang terjadi, fenomena budaya, dan aspek spiritual dalam budaya Indonesia, negara lainnya, atau dalam tingkatan global hingga sampel tahun 2009. Sejak Hi Inlander, mediumnya secara konsisten berbentuk instalasi wearable, dengan berbagai eksplorasi material, bentuk visual, dan pelibatan medium lainnya seperti performance dan video yang terus dilakukannya hingga sekarang. Konteks sosiokultural Indonesia dan perspektif sebagai seniman migran sangat terefleksikan pada karya-karyanya. Dalam membuat karya, ia mengolah hal-hal komunal dan personal menjadi bentuk simbolik. Sebagai seniman migran, posisinya berada di tengah-tengah dari titik-titik ekstrem permasalahan yang diangkat, membuatnya menjaga jarak dan memperhatikan aspek etika dan norma masyarakat, memilih menyampaikan pesan melalui simbol-simbol serta bentuk pakaian dan struktur yang menutup tubuh, sebagai lambang perlindungan. Identitas migran juga memberikannya kekurangan sekaligus keuntungan: ia terkena stigma sebagai bule kaya dan penjajah, namun stigma juga memberikannya stimulus untuk merespons kritis situasi tersebut dalam wujud karya. Di sisi lain, ‘kebulean’nya membantu proses pengangkatan persoalan sosiokultural di Indonesia dan global dari sudut pandang yang lebih makro dan berjarak dibanding seniman Indonesia. Ia pun menaruh perhatian pada pengalaman audiens menghadapi karyanya dan terbuka akan dialog dan penafsiran berbeda atas karyanya.