digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Osteoporosis merupakan salah satu penyakit yang sangat mempengaruhi kualitas hidup manusia terutama pada usia lanjut. Namun, pengobatan konvensional yang tersedia sampai saat ini masih terbatas dan tidak aman dalam penggunaan jangka panjang. Oleh karena itu diperlukan alternatif pengobatan yang dapat mengatasi masalah tersebut. Salah satu kandidat yang menjanjikan adalah sirih bumi (Peperomia pellucida (L.) Kunth). Melalui serangkaian penelitian, telah dibuktikan bahwa ekstrak tanaman ini memiliki khasiat antiosteoporosis melalui percobaan secara in vitro maupun in vivo. Namun masih diperlukan pengujian untuk mengetahui jenis ekstrak, fraksi maupun senyawa hasil isolasi yang paling aktif, kandungan senyawa yang dominan berperan pada aktivitas ini serta mekanisme kerjanya. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh senyawa potensial sebagai agen antiosteoporosis dari herba sirih bumi serta mempelajari mekanisme kerjanya. Penelitian ini meliputi uji aktivitas antiosteoporosis yang didukung oleh uji aktivitas antiinflamasi dan estrogenik terhadap sampel ekstrak, fraksi dan beberapa senyawa hasil isolasi dari tanaman sirih bumi. Aktivitas dan mekanisme kerja tanaman sirih bumi dievaluasi secara in vivo yang didukung oleh data pengujian in vitro dan in silico. Penelitian ini diawali dengan proses ekstraksi dengan maserasi bertingkat simplisia sirih bumi menghasilkan tiga jenis ekstrak yaitu ekstrak n-heksana, etil asetat, dan ekstrak etanol. Ekstrak air diperoleh dari proses maserasi terpisah. Lima senyawa kimia berhasil diisolasi dari ekstrak etil asetat melalui pemantauan hasil uji estrogenik dan profil kromatografi. Kelima senyawa tersebut adalah senyawa turunan dari dillapiol (6-allil-5-metoksi-1,3-benzodioksol-4-ol), pakipostaudin B, pelusidin A, dillapiol dan apiol. 6-allil-5-metoksi-1,3- benzodioksol-4-ol dan pakipostaudin B merupakan senyawa yang baru pertama kali diisolasi dari tanaman sirih bumi dan belum pernah dilaporkan aktivitas farmakologinya. Selain itu, terdapat empat senyawa kimia yang berhasil diidentifikasi dalam sirih bumi yaitu stigmasterol pada ekstrak n-heksana dan etil asetat, apigenin dan apigetrin pada ekstrak air, serta kuersetin pada semua ekstrak. Keberadaan apigetrin pada herba sirih bumi belum pernah dilaporkan pada jurnal ilmiah yang ada. Pada penelitian pendahuluan, ekstrak etanol tunggal herba sirih bumi (selanjutnya disebut ekstrak etanol A) memiliki efek antiosteoporosis yang lebih baik dibandingkan dengan jusnya melalui percobaan secara in vivo. Selain itu, melalui percobaan antioksidan secara in vitro (DPPH, ABTS, dan CUPRAC) terhadap keempat ekstrak ditemukan bahwa ekstrak etil asetat dan ekstrak etanol memiliki efek antioksidan terbaik. Pada uji antiinflamasi secara in vitro dengan model penghambatan permeabilitas membran sel, ekstrak etil asetat menunjukkan aktivitas tertinggi. Aktivitas ini sebanding dengan yang dimiliki aspirin. Ekstrak ini juga memiliki pola kromatografi lapis tipis yang paling mirip dengan ekstrak etanol A sehingga pengujian aktivitas antiosteoporosis hanya dilakukan terhadap ekstrak etil asetat dan ekstrak etanol. Uji aktivitas antiosteoporosis secara in vivo membuktikan bahwa kedua ekstrak sebanding dalam mempercepat proses penyembuhan tulang berdasarkan pengamatan kualitatif parameter mikroarsitektur tulang dan histologi sel-sel tulang. Perbedaan signifikan hanya ditemukan pada peningkatan nilai parameter ketebalan trabekular yang ditunjukkan oleh ekstrak etanol. Kedua ekstrak secara signifikan mampu meningkatkan jumlah fibroblas (ekstrak etil asetat 203,32% dan ekstrak etanol 206,30%, p<0,01) dan menurunkan jumlah sel polymorphonuclear (PMN) (ekstrak etil asetat 35,35% p<0,05 dan ekstrak etanol 40,49% p<0,01). Ekstrak etil asetat memiliki potensi aktivitas antiosteoporosis yang lebih baik berdasarkan pengujian kromatografi cair-spektroskopi massa serta memiliki kandungan flavonoid yang lebih baik. Pada pengujian aktivitas estrogenik yang dilakukan terhadap ekstrak n-heksana, ekstrak etil asetat, ekstrak etanol, ekstrak air, serta dua fraksi, sembilan subfraksi, dan kelima senyawa kimia hasil isolasi dari ekstrak etil asetat, diperoleh hasil bahwa kelima senyawa kimia (turunan dillapiol 22,28%; pakipostaudin B 36,54%; pelusidin A 13,46%; dillapiol 12,73%; dan apiol 33,08%) menunjukkan aktivitas estrogenik yang lebih rendah dibandingkan fraksi metanol (114,37%). Aktivitas estrogenik semua isolat kecuali pakipostaudin B bahkan lebih rendah dibandingkan ekstrak etil asetat (33,83%). Aktivitas estrogenik tertinggi ditunjukkan oleh ekstrak air dan fraksi metanol dari ekstrak etil asetat. Semakin tinggi aktivitas estrogenik ini, maka kemungkinan aktivitas antiosteoporosisnya juga semakin besar. Pengujian juga mengungkapkan bahwa aktivitas estrogenik diperantarai oleh aktivitas pengikatan ke reseptor estrogen. Pada pengujian aktivitas antiosteoporosis secara in vitro, ekstrak air konsisten menunjukkan aktivitas terbaiknya dengan mampu menghambat diferensiasi osteoklas (aktivitas penghambatan sebesar 92,45 ± 1,82% pada konsentrasi 10 µg/mL). Aktivitas ini diduga didukung oleh kemampuan ekstrak air dalam menginduksi polarisasi makrofag M0 menjadi makrofag M1 yang berperan pada penghambatan osteoklastogenesis. Apigenin diduga menjadi salah satu senyawa aktif dalam ekstrak air. Apigenin telah dilaporkan mampu menghambat pembentukan dan fungsi osteoklas serta menginduksi peningkatan apoptosis osteoklas. Serangkaian uji secara in silico yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi penambatan molekular pada reseptor estrogen alfa dan beta, Receptor Activator of Nuclear Factor-?B Ligand (RANKL), osteoprotegerin (OPG), cathepsin K, dan Matrix Metallopeptidase-9 (MMP-9). Analisis secara in silico untuk memprediksi profil absorbsi, distribusi, metabolisme, ekskresi, dan toksisitas (ADMET) senyawa kimia, serta memprediksi aktivitas biologi juga turut dilakukan. Hasil uji aktivitas estrogenik secara in silico mendukung hasil uji secara in vitro. Uji ini memprediksi bahwa apigetrin, 6-allil-5-metoksi-1,3-benzodioksol-4-ol, pakipostaudin B, dillapiol dan apiol mampu berikatan pada cathepsin K sedangkan apigenin dan apigetrin pada MMP-9 yang ditunjukkan dengan nilai energi ikatan yang cukup tinggi dan kemiripan ikatan pada residu asam amino tertentu dengan ligan alami. 6-allil-5-metoksi-1,3-benzodioksol-4-ol, dillapiol, dan apiol diprediksi ikut terlibat pada aktivitas antiinflamasi ekstrak etil asetat melalui penghambatan permeabilitas membran sel. 6-allil-5-metoksi-1,3- benzodioksol-4-ol, pelusidin A, dillapiol, dan apiol diprediksi berbahaya bila tertelan dengan adanya nilai LD50 dan tingkat kelas toksisitas. Perhatian khusus diperlukan terhadap kemungkinan efek karsinogenik dan imunotoksisitas yang ditimbulkan oleh 6-allil-5-metoksi-1,3-benzodioksol-4-ol, dillapiol, dan apiol.