Kebutuhan hunian terjangkau menjadi jalan keluar bagi masyarakat perkotaan,
mengingat pertumbuhan populasi generasi milenial telah memasuki usia produktif
di Indonesia. Tipe rumah tinggal tapak (landed house) masih menjadi pilihan
idaman bagi masyarakat untuk tinggal di perkotaan karena memiliki biaya
perawatan yang relatif lebih murah daripada tipe rumah tinggal bentuk vertikal
(rumah susun/ apartemen). Pada kelompok masyarakat tersebut, bentuk hunian
alternatif dan terjangkau mulai diperhitungkan keberadaannya, mengingat
permasalahan permukiman tentang harga properti yang tinggi, lahan yang terbatas
dan lokasi yang jauh dari pusat kota. Hal ini mempengaruhi kebutuhan perancangan
hunian dengan konsep compact house, serta memberi pengaruh setiap individu
untuk berperilaku dengan konsep compact living.
Posisi penelitian berdasarkan pada penelitian terdahulu tentang keberadaan tiny
house di negara Barat, fenomena perilaku minimalis di dunia dan munculnya
pengaruh compact living dan perilaku minimalis di Indonesia. Terdapat usaha serta
proses adaptasi yang dilakukan bagi masyarakat usia produktif dalam memenuhi
kebutuhan hunian untuk mewadahi kegiatan sehari-hari di dalam rumah. Teori yang
dipergunakan untuk menanggapi hal tersebut berkaitan dengan prinsip dan
pemikiran perilaku minimalis, elemen interior, bentuk dan tatanan susunan ruang,
pendekatan dan aplikasi arsitektur lingkungan dan perilaku.
Konsep compact living diaplikasikan dalam konsep hunian Reduhouse yang
diperkenalkan pertama kali oleh prinsipal arsitek SPOA, Rahmat Indrani.
Perancangan hunian tinggal yang layak huni akan mempengaruhi kualitas
kehidupan penghuninya, terutama dengan kebutuhan mobilitas tinggi dan
keberagaman hobi kelompok masyarakat tersebut. Pengaruh arsitektur compact
house terhadap perilaku minimalis penghuninya tersirat dalam kondisi fisik rumah
tinggal Reduhouse setelah dihuni selama beberapa waktu. Perilaku minimalis
menjadi proses interaksi sistem aktivitas setiap individu dengan sistem seting
(ruang) di dalam Reduhouse.
2
Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif bersifat deskriptif untuk
menafsirkan fenomena tersebut. Aplikasi arsitektur lingkungan dan perilaku pada
evaluasi pascahuni bersifat indikatif, hal ini dilakukan untuk memperoleh fakta di
lapangan mengenai proses adapatasi yang dilakukan oleh penghuni. Pengambilan
data dilakukan melalui evaluasi data sekunder (gambar kerja Reduhouse), proses
wawancara terhadap prinsipal arsitek SPOA dan penghuni rumah, dan perlakuan
evaluasi walk-through saat observasi tiga rumah Reduhouse terpilih. Proses
evaluasi pascahuni dilakukan untuk mengidentifikasi aspek fungsional (zonifikasi,
organisasi, sirkulasi, fasilitas, dan fleksibilitas dan perubahan ruang), aspek teknis
(ruangan, perabotan dan penataannya), dan aspek perilaku (privasi dan interaksi
penghuni, pemahaman dan perancangan bangunan). Tujuan dari penelitian untuk
mengidentifikasi pengaruh konsep hunian terhadap perilaku minimalis penghuni
dan mengetahui pengaruh aktivitas penghuni terhadap kondisi interior dalam
rumah. Hasil dari penelitian ini berupa tabel berisi kriteria unsur-unsur yang
mengalami perubahan pada kondisi fisik interior, serta penjelasan mengenai temuan
perbedaan yang signifikan pada masing-masing rumah Reduhouse. Manfaat
evaluasi pascahuni terhadap Reduhouse dilakukan untuk menyampaikan tantangan
yang dihadapi responden masing-masing rumah serta memberikan gambaran
indikasi kegagalan dan keberhasilan perancangan bagi arsitek sebagai bahan
pertimbangan untuk hunian Reduhouse lainnya dikemudian hari.