digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Diah Radini Noerdjito
PUBLIC Alice Diniarti

Keanekaragaman hayati menggambarkan kondisi ekosistem suatu area. Penelitian ini dilakukan di sekitar Kepulauan Karimun Jawa, difokuskan pada fitoplankton, terutama diatom (Bacillariophyceae), yang dipilih karena merupakan produsen utama di perairan laut. Diatom mempunyai keragaman yang tinggi, namun informasi mengenai diatom laut di Indonesia dan potensinya sebagai penghasil lipida masih sangat sedikit. Adapun produksi lipida oleh diatom dipengaruhi antara lain oleh cekaman faktor fisika dan kimia lingkungan, sehingga informasi mengenai cekaman ekologis di alam menjadi penting sebagai dasar pengembangan lebih lanjut dalam kultur batch secara indoor. Serangkaian penelitian telah dilakukan untuk menggambarkan diatom laut tropis Indonesia dan potensinya, yang meliputi: 1) keanekaragaman diatom di perairan Karimun Jawa dan determinant factors yang mempengaruhinya, 2) potensi diatom sebagai penghasil lipida dari lingkungan alaminya, dan 3) peningkatan efisiensi produksi lipida pada kultur diatom melalui modifikasi cahaya dan nutrien. Dari penelitian ini diperoleh 17 genera diatom dari Karimun Jawa. Genera Nitzschia spp., Navicula spp., Thalassiora spp. dan Amphora spp. umum ditemukan dan terdapat hampir di semua lokasi pencuplikan, walaupun kelimpahannya berbedabeda di setiap lokasi. Genera yang terbatas kehadirannya namun terdapat dalam kelimpahan yang tinggi adalah Chaetoceros spp. yang ditemukan di laut (titik sampling 1), pelabuhan kapal besar (titik sampling 4), dan teluk bermangrove yang digunakan untuk pelabuhan kapal privat (titik sampling 7); serta Skeletonema spp. di teluk bermangrove yang digunakan untuk pelabuhan kapal privat (titik sampling 7). Hubungan antara genera dan kondisi lingkungan di Karimun Jawa ditentukan oleh sumber nitrogen, yaitu amonium dan nitrat. Pada daerah dengan konsentrasi nitrat tinggi, Chaetoceros spp. muncul mendominasi. Kandungan nitrat dan fosfat yang tinggi berasosiasi dengan aktivitas antropogenik. Sedangkan, kelimpahan Nitzschia spp. yang tinggi berkorelasi dengan kandungan amonium di daerah mangrove yang relatif tidak terpengaruh aktivitas manusia. Adanya area konservasi mangrove menjaga keberadaan diatom, sehingga secara tidak langsung menjaga potensi pemanfaatan secara berkelanjutan. Dari semua genera yang dicoba untuk ditumbuhkan, lima isolat berhasil tumbuh dengan baik. Isolat yang berhasil dikultur adalah spesies yang umum ditemukan dan mempunyai rentang toleransi yang lebar. Kegagalan kultur merupakan respon ketidaksesuaian dengan lingkungan yang baru, yang mana nutrien dalam medium tidak sesuai dengan kebutuhan alaminya yang spesifik. Lima isolat yang berhasil tumbuh dengan baik adalah 3 jenis Nitzschia sp. dan dua jenis Navicula sp. Kelima isolat tersebut tetap bertahan hingga lebih dari 9 generasi sehingga dapat digunakan untuk tahap penelitian lebih lanjut yang dilakukan secara batch di dalam ruangan (indoor). Apabila dibandingkan dengan 19 jenis diatom lain dari perairan Teluk Jakarta, Cilacap, Yogyakarta, Bali, dan Lombok, Nitzschia sp. RCO 4 (=Research Center for Oceanography, LIPI) dari Karimun Jawa mempunyai produksi biomassa (845 ± 42 mg/L), produksi lipida (121 ± 20 mg/L), danlaju pertumbuhan tertinggi, serta fase stasioner yang dicapai dalam waktu yang tidak terlalu panjang, sehingga digunakan untuk tahap penelitian berikutnya. Profil asam lemak menunjukkan bahwa asam lemak jenuh asam palmitat dan asam lemak tak jenuh asam palmitoleat ditemukan pada semua diatom laut yang diujikan. Penggunaan warna cahaya dalam kultur fitoplankton merupakan hal yang menarik. Kebanyakan kultur mikroalga dapat tumbuh dengan baik di bawah cahaya merah. Namun, ternyata diatom tidak tumbuh di bawah cahaya merah (650-665 nm), tetapi tumbuh dengan baik di bawah cahaya biru (460-475 nm). Diatom mempunyai klorofil c, yang tidak dimiliki oleh fitoplankton lain seperti mikroalga hijau (Chlorophyceae). Panjang gelombang cahaya biru sesuai dengan puncak penyerapan cahaya oleh klorofil c, yang meningkatkan sistem pengumpulan cahaya di fotosistem II, sehingga meningkatkan laju fotosintesis. Dibandingkan dengan pencahayaan biasa (daylight), penggunaan cahaya biru meningkatkan produksi biomassa dari 0,85 ± 0,04 g/L menjadi 1,39 ± 0,18 g/L, dan produksi lipida dari 0,141 ± 0,020 g/L menjadi 0,236 ± 0,120 g/L, namun tidak meningkatkan persentase lipida. Pada kultur, asam lemak jenuh dihasilkan terlebih dahulu, kemudian menjadi bahan baku pembuatan asam lemak tak jenuh. Hal ini ditandai dengan adanya asam lemak jenuh sejak awal periode kultur, sedangkan asam lemak tak jenuh muncul mulai awal fase stasioner. Adanya asam lemak jenuh sepanjang periode kultur disebabkan adanya individu baru hasil pertumbuhan yang selalu muncul hingga kultur mencapai carrying capacity-nya. Penggunaan cahaya biru meningkatkan ketersediaan energi di dalam sel yang dibutuhkan dalam pembentukan asam lemak tak jenuh rantai panjang, yang ditandai dengan peningkatan produksi asam lemak tak jenuh ARA (asam arakidonat, arachidonic acid), DHA (asam dokosaheksanoat, docosahexanoic acid), dan EPA (asam eikosapentanoat, eicosapentanoic acid) dua kali lipat lebih tinggi bila dibandingkan dengan penggunaan cahaya putih. Cahaya biru kemudian digunakan pada tahap penelitian berikutnya. Di bawah cahaya biru, pertumbuhan dan produksi biomassa yang optimum diperoleh pada medium f/2 tanpa modifikasi, yang menunjukkan bahwa medium tersebut merupakan medium yang tepat untuk pertumbuhan Nitzschia sp. RCO 4. Dalam pertumbuhannya, Nitzschia sp. RCO 4 lebih cepat menghabiskan nitrat daripada fosfat dan silikat dalam medium. Rekayasa faktor lingkungan dengan memodifikasi konsentrasi nitrat di dalam medium meningkatkan persentase lipida seiring dengan pengurangan konsentrasi nitrat. Produksi lipida optimum (0,229 ± 0,007) g/L) dan produksi asam lemak tak jenuh tertinggi (0,138 ± 0,005 g/L), diperoleh pada perlakuan O,5N (4,41.10-4 M NaNO3 dalam medium f/2). Penurunan nitrogen (nitrat) dalam medium hingga 0,25N (2,205.10-4 M NaNO3 dalam medium f/2) mengurangi persentase asam lemak jenuh (terutama asam palmitat), dan persentase asam lemak tak jenuh (asam palmitoleat, asam stearadonat, asam linoleat, dan EPA) akan meningkat. Namun, pengurangan konsentrasi nitrat mengakibatkan diatom tidak mempu menghasilkan asam lemak tak jenuh rantai sangat panjang DHA. Modifikasi konsentrasi fosfat di dalam medium meningkatkan persentase lipida pada sel diatom seiring dengan pengurangan konsentrasi fosfat. Produksi lipida optimum (0,217 ± 0,005 g/L), produksi asam lemak jenuh tertinggi (0,078 ± 0,004 g/L) dan produksi asam lemak tak jenuh tertinggi (0,138 ± 0,005 g/L), diperoleh pada perlakuan O,5P (1,18.10-5 M NaH2PO4 dalam medium f/2). Pengurangan konsentrasi fosfat dalam medium akan menyebabkan peningkatan persentase asam lemak jenuh asam palmitat serta asam lemak tak jenuh ARA, EPA, dan DHA. Modifikasi konsentrasi silikat di dalam medium meningkatkan persentase lipida dengan berperan dalam jalur omega-7 yang ditandai dengan peningkatan persentase asam lemak jenuh asam palmitat serta asam lemak tak jenuh asam palmitoleat, dan jalur omega-3 yang ditandai dengan peningkatan EPA. Produksi lipida optimum (0,211 ± 0,009 g/L) dan produksi asam lemak tak jenuh optimum (0,152 ± 0,004 g/L), diperoleh dari perlakuan 0,25Si (0,265.10-4 M NaSiO3.9H2O dalam medium f/2). Produksi asam lemak jenuh dan tak jenuh yang efisien dapat dihasilkan Nitzschia sp. RCO 4 melalui modifikasi jenis cahaya, konsentrasi fosfat, konsentrasi nitrat, dan konsentrasi silikat. Produksi asam palmitoleat yang optimum didapat dari penggunaan cahaya biru, perlakuan 0,25Si, setelah melewati fase stasioner. Produksi asam linoleat yang optimum didapat dari penggunaan cahaya biru, perlakuan 0,5P, pada fase stasioner. Produksi asam oleat yang optimum didapat dari penggunaan cahaya biru, perlakuan 0,5Si, pada fase logaritmik mendekati fase stasioner. Produksi ARA yang optimum didapat dari penggunaan cahaya biru, perlakuan 0P pada fase logaritmik. EPA yang optimum didapat dari penggunaan cahaya biru, perlakuan 0,5N, pada fase stasioner. Sedangkan DHA yang optimum didapat dari penggunaan cahaya biru, perlakuan 0,5P, setelah fase stasioner.