digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Dede Ibnu Suhada
PUBLIC Irwan Sofiyan

Indonesia memiliki kandungan batubara signifikan sebesar 155 miliar ton. Batubara dapat mengandung gas metana yang bisa dijadikan sumber energi setara dengan gas konvensional. Potensi gas metana batubara Indonesia tahun 2019 diperkirakan 86 miliar kaki kubik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik gas metana batubara dari dua daerah yang berbeda yaitu Mangunjaya di Cekungan Sumatra Selatan dan Ampah di Cekungan Barito. Kedua daerah tersebut memiliki batubara peringkat rendah berumur Neogen. Metode yang digunakan adalah pengukuran kandungan gas secara langsung di lapangan melalui analisis desorpsi dan komposisi gas serta analisis kualitas batubara di laboratorium, meliputi analisis petrografi organik, proksimat, dan ultimat. Data yang digunakan adalah sampel inti batubara dari empat buah sumur yaitu MJ01, MJ02 di daerah Mangunjaya dan JWT-01 serta JWT-02 di daerah Ampah. Batubara di daerah Mangunjaya merupakan bagian dari Formasi Muaraenim dalam wilayah Cekungan Sumatra Selatan. Kemenerusan lapisan batubara Formasi Muaraenim ini cukup luas secara regional. Di daerah Mangunjaya ditemukan sebanyak 16 lapisan batubara dengan ketebalan berkisar 0,36 meter s.d. 14,35 meter. Kenampakan secara megaskopis batubara berwarna hitam kecokelatan, kilap kusam, garis gores cokelat kehitaman, terdapat resin dan pirit, masih terlihat sisa tumbuhan, pengotor pada beberapa bagian berupa batubara lempungan dan batupasir kasar, pecahan subkonkoidal, rekahan kadang terlihat, keras, rapuh, batas kontak gradasi hingga tegas. Nilai kalori batubara berkisar antara 4.711 kal/g dan 5.938 kal/g (basis adb). Nilai reflektansi vitrinit 0,24% s.d. 0,36%. Kandungan gas batubara daerah Mangunjaya berkisar antara 0,23 scf/ton dan 33,33 scf/ton dengan komposisi gas metana antara 1,90% dan 85,78%. Daerah Ampah termasuk dalam wilayah Cekungan Barito. Formasi pembawa batubara di daerah ini adalah Formasi Warukin. Di daerah Ampah ditemukan sebanyak 13 lapisan batubara dengan ketebalan 0,50 meter s.d. 15,35 meter. Kenampakan secara megaskopis batubara berwarna hitam sampai cokelat, kilap kusam, goresan cokelat, agak rapuh sampai agak lunak dan masih terlihat struktur kayu. Nilai kalori batubara berkisar antara 5.041 kal/g dan 5.532 kal/g (basis adb). Nilai reflektansi vitrinit berkisar 0,23% s.d. 0,34% dan termasuk peringkat batubara lignit. Kandungan gas batubara 1,73 scf/ton s.d. 4,39 scf/ton dengan komposisi gas metana berkisar 60,43% s.d. 82,44%. Kualitas batubara di kedua daerah menunjukkan peningkatan seiring dengan kedalaman. Hal yang sama terjadi pada peringkat batubara dan kandungan gas di kedua daerah yang mengalami peningkatan. Tipe material organik penyusun batubara yang diidentifikasi berdasarkan diagram van Krevelen (1961) pada kedua daerah mengindikasikan bahwa seluruh sampel teranalisis memiliki kerogen dominan tipe III yang cenderung menghasilkan gas. Hasil analisis komposisi maseral terhadap 62 perconto batubara daerah Mangunjaya menunjukkan bahwa batubara daerah tersebut didominasi oleh kelompok maseral huminit berkisar 68,40% s.d. 92,40%, liptinit 0,20% s.d. 8,40%, inertinit 2,20% s.d. 26,60% dan mineral 0,40% s.d 13,20%. Daerah Ampah dilakukan analisis terhadap 29 perconto batubara. Kelompok maseral huminit daerah Ampah sebanyak 65,00% s.d. 92,60%, liptinit 0,20% s.d. 9,20%, inertinit 4,00% s.d. 25,80%, dan mineral 0,40% s.d 9,60%. Secara umum, walaupun peringkat batubara di kedua daerah sama, kandungan gas daerah Mangunjaya lebih besar dari kandungan gas daerah Ampah. Batubara target daerah Mangunjaya berada pada kedalaman 260 meter dan 389 meter sedangkan Ampah berada pada kedalaman 135 meter dan 224 meter. Hasil penelitian menunjukkan kandungan maseral yang berbeda-beda pada batubara di setiap sumur. Korelasi antara maseral-maseral yang mempunyai mikropori dan kelimpahan kandungan gas dalam batubara mengindikasikan adanya keterkaitan atau bernilai positif. Perbedaan komposisi maseral diperkirakan berpengaruh terhadap perbedaan kandungan gas di tiap sumur. Posisi daerah penelitian terhadap cekungan dan perbedaan waktu pengangkatan menjadi penyebab perbedaan kematangan batubara di kedua daerah.