digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

2020 DS PP ALVI LUFIANI 1.pdf)u
PUBLIC Noor Pujiati.,S.Sos

2020 DS PP ALVI LUFIANI 2.pdf)u
PUBLIC Noor Pujiati.,S.Sos

2020 DS PP ALVI LUFIANI 3.pdf)u
PUBLIC Noor Pujiati.,S.Sos

Daerah Istimewa Yogyakarta atau Kota Yogyakarta dikenal sebagai kota seni dan budaya. Salah satu seni yang amat lekat dengan keseharian warga kota Yogyakarta adalah kriya yang juga menjadi bagian tak terpisahkan dan menjadi identitas kota. Bagi masyarakat Yogyakarta, kriya tidak hanya memiliki korelasi budaya dan seni, melainkan juga ekonomi. Masalahnya terletak pada belum dipahaminya kriya secara komprehensif. Kriya dari sejarahnya berbeda dengan kerajinan yang dikenal oleh masyarakat luas, baik di negara-negara Eropa atau Amerika, maupun di Asia. Kerajinan ditandai sebagai objek yang diproduksi untuk pemenuhan sehari-hari dan tanpa perencanaan matang. Sedangkan kriya itu adiluhung, dan dibuat bermula dari pemenuhan kebutuhan kerajaan atau anggota kerajaan dan dikenal sebagai tradisi Adiluhung. Kriya dipahami sebagai sesuatu yang fleksibel dan terbuka. Keterbukaan itu memberikan peluang untuk terus berkembang merespon situasi, menyerap gejala yang terjadi di lingkungan sekitar sekaligus mewadahi ekspresi personal kriyawan pembuatnya. Hal-hal tersebut salah satu yang mempengaruhi adanya ekspansi pada kriya. Ekspansi yang akan menjadi bahan kajian adalah yang terjadi pada kriya di seni rupa ruang publik kota Yogyakarta. Penelitian ekspansi kriya pada seni rupa ruang publik di Yogyakarta bertujuan untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya ekspansi kriya di Yogyakarta, baik secara internal maupun eksternal. Selain itu untuk mengetahui peran ekspansi kriya di ruang publik Yogyakarta dalam membentuk konsep keilmuan kriya di masa kini dan yang akan datang serta sebagai referensi penataan ruang publik di Yogyakarta. Tahapan penelitian yang dilakukan mulai dari observasi, identifikasi, dokumentasi dan investigasi. Observasi dilakukan di berbagai sudut kota Yogyakarta, pusat perbelanjaan, fasilitas umum dan pusat budaya. Batasan temporal dimulai sejak tahun 2000 hingga 2017. Penelitian ini dilakukan dengan kajian budaya. Metode yang digunakan adalah interdisiplin. Untuk menelaah dimensi kriya atau aspek visual pada seni ruang publik di Yogyakarta, digunakan teori estetika, teori kriya, dan teori ekspansi. Teori pendukung adalah teori ruang publik dan teori sosiologi seni. Sosiologi seni diaplikasikan pada pengkajian aspek kontekstual dari karya seni publik berdimensi kriya yang dijumpai di lapangan. Metode pengumpulan data yang dilakukan di lapangan selain studi literatur adalah wawancara pada sumbersumber dari masyarakat lokal maupun pendatang, tokoh daerah, penyebaran daftar kuesioner, pendokumentasian karya seni rupa ruang publik dan data pendukung yang dimanfaatkan maksimal untuk mendapatkan data yang valid. Temuan dari penelitian adalah temuan konsep atau istilah baru yang terjadi dari adanya ekspansi kriya di ruang publik Yogyakarta. Fenomena ekspansi tersebut memberikan dimensi baru bagi keilmuan di ranah kriya. Secara konseptual ekspansi karya kriya dapat diabstraksikan sebagai berikut, yaitu adanya keterlepasan raga (disembodiment), eksteriorisasi, kelanggengan objek (durability), dan ornament enlargement. Ekspansi kriya juga memunculkan elemen monumental yang sebelumnya tidak ada pada karya kriya yang belum berekspansi.